Pertemuan 3 Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Perempuan dan anak
Perlindungan khusus
Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus pekerja/buruh perempuan, anak dan penyandang cacat sebagai berikut :
1. Perlindungan pekerja/buruh Anak
a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).
b. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).
c. Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Ijin tertulis dari orang tua/wali.
Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha
Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam
Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
Keselamatan dan kesehatan kerja
Adanya hubungan kerja yang jelas
Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).
e. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Pasal 73).
f. Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74 ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :
Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.
Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
2. Perlindungan Pekerja/Buruh Perempuan
Pekerjaan wanita/perempuan di malam hari diatur dalam Pasal 76 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
1) Pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi,
3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagiwajib :
a. Memberikan makanan dan minumanbergizi
b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
4) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan antar jemput.
Tidak mempekerjakan tenaga kerja melebihi ketentuan Pasal 77 ayat (2) yaitu 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
Bila pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama, maka harus ada persetujuan dari tenaga kerja dan hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam sehari dan 14 (empat belas) jam dalam seminggu, dan karena itu pengusaha wajib membayar upah kerja lembur untuk kelebihan jam kerja tersebut. Hal ini merupakan ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2).
5) Tenaga kerja berhak atas waktu istirahat yang telah diatur dalam Pasal 79 ayat (2) yang meliputi waktu istirahat untuk:
Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja
Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas hari kerja setelah tenaga kerja bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan apabila tenaga kerja telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan tenaga kerja tersebut tidak berhak lagi istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan.
6) Untuk pekerja wanita, terdapat beberapa hak khusus sesuatu dengan kodrat kewanitaannya, yaitu :
Pekerja wanita yang mengambil cuti haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua (Pasal 81 ayat (1))
Pekerja wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 ayat (1))
Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesuai ketentuan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 (2))
Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83)
Pekerja wanita yang mengambil cuti hamil berhak mendapat upah penuh (Pasal 84).
Alasan Perlunya Perlindungan Tenaga Kerja
Secara yuridis, Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat. Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.[2]Kedua kandungan pasal ini merupakan wujud perlindungan hukum bagi para tenaga kerja.
Di antara sebab-sebab mutlak diperlukannya perlindungan bagi tenaga kerja adalah:
1) Posisi tawar yang rendah
Lemahnya kedudukan tenaga kerja dari segi ekonomi dan pendidikan, menyebabkan rendahnya kualitas si pekerja. Tenaga kerja dengan pendidikan yang tidak memadai akan cenderung mendominasi pekerjaan kasar. Hal ini juga disebabkan adanya kualifikasi dari pihak penyedia lapangan kerja dalam mempersyaratkan calon tenaga kerja yang direkrutnya.
2) Hubungan kerja yang tidak seimbang antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam pembuatan perjanjian
Pembebanan hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara penyedia lapangan kerja dengan pekerja/buruh ini menyebabkan suatu ketimpangan. Secara tidak langsung pekerja/buruh hanya akan diberi pilihan-pilihan yang cenderung merugikan dirinya, sedang di sisi lain memberi banyak keuntungan pada pengusaha.
3) Pekerja/buruh diperlakukan sebagai obyek
Dalam konteks ini, seorang pekerja/buruh diperlakukan tak ubahnya alat yang dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga berakibat pada:
Kesewenang-wenangan pengusaha,
Tuntutan kerja maksimal,
Upah yang sebatas pada upah minimum regional/provinsi,
Kurang diperhatikannya masa kerja pekerja/buruh, dan sebagainya.
4) Diskriminasi golongan
Meskipun perbuatan diskriminasi dilarang, namun tak pelak bahwa hal ini masih sering terjadi di kalangan masyarakat, seperti mengenai jenis kelamin, ras, latar belakang sosial, fisik, dan sebagainya.
Sumber
Dwi Winarno,Buku PPKn SMAK/MAK Kelas XI Bumi Aksara ,MGMP PPKn Kab Banyumas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar