Tantangan Penerapan Pancasila di dunia yang saling terhubung
Upaya untuk menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
merupakan hal paling menantang dari materi Pancasila, di era Revolusi Industri
4.0. Tentu saja, tantangan dan peluang mengimplementasikan Pancasila pada 30
tahun yang lalu berbeda dengan hari ini, zaman telah berubah dan tantangan pun
ikut berganti. Karena itu, marilah kita mengulas sejumlah tantangan dan peluang
penerapan Pancasila pada era kekinian. Untuk lebih memudahkan, pembahasan
mengenai topik peluang dan tantangan penerapan Pancasila ini akan diturunkan ke
dalam beberapa sub topik berikut.
a. Ber-Pancasila di Era Media Sosial Menurut data We Are
Social tahun 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau
sebesar 56% dari total populasi rakyat Indonesia. Setiap tahunnya pengguna
internet terus mengalami peningkatan yang signiikan.
Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa media sosial
menjadi tempat penyebaran hoaks yang sangat masif. Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo), hingga 5 Mei 2020, mencatat sebanyak 1.401 konten hoaks
dan disinformasi terkait Covid-19 yang beredar di masyarakat. Riset
Dailysocial.id melaporkan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di
platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sebagian
besar responden (44,19%) yang ditelitinya, tidak yakin memiliki kepiawaian
dalam mendeteksi berita hoaks. Selain hoaks, media sosial juga digunakan untuk
menyebarkan ujaran kebencian, pemikiran intoleransi, dan radikalisme. Bahkan,
menurut sejumlah lembaga penelitian, penyebarannya sangat masif. Di sisi lain,
media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan gagasan dan program yang
baik. Aktivitas mengumpulkan dana melalui media sosial (crowdfunding) untuk
tujuan kebaikan, seperti membantu pengobatan orang yang sakit, memperbaiki
rumah, dan sebagainya juga banyak dilakukan.. Pendek kata, media sosial bak
pisau bermata dua. Satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk menebar kebaikan.
Namun pada sisi lain, ia juga dapat menjadi alat untuk melakukan pengrusakan
sosial. Kata kuncinya adalah bagaimana penggunaan media sosial, khususnya oleh
peserta didik, dapat diarahkan kepada kebaikan
b. Borderless Society: Lalu Lintas Manusia, Informasi, dan
Ideologi Tantangan lain pada abad ini adalah semakin kaburnya sekat-sekat
geograis suatu negara. Masyarakat di suatu wilayah atau negara dapat terkoneksi
dengan masyarakat lain di wilayah atau negara yang berbeda. Sekat-sekat
geograis tak lagi signiikan akibat masifnya teknologi informasi. Hal ini
membawa dua dampak sekaligus: positif dan negatif. Dampak positifnya,
masyarakat dapat mempromosikan dan mengkampanyekan ide, gagasan, program dan
aktivitas yang baik, serta mengangkat keunikan dan kearifan tradisi mereka ke
khalayak global. Dampak negatifnya, segala yang tidak baik atau tidak patut
dapat pula dengan mudah ditiru oleh masyarakat di belahan dunia yang berbeda.
Pada titik ini, suatu interaksi sosial yang membentuk kepribadian manusia perlu
dimaknai secara lebih luas. Interaksi sosial, tidak selalu bermakna interaksi
isik: bertemunya satu orang dengan orang lain. Sejauh terkoneksi dengan
internet, seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Situasi ini
memberikan peluang dan sekaligus tantangan dalam upaya penerapan Pancasila.
Peluangnya adalah ide, pemikiran, dan tradisi luhur yang bersumber dari
nilai-nilai Pancasila dapat dengan mudah dipromosikan ke masyarakat dunia.
Tantangannya, Pancasila akan dipersandingkan atau bahkan dibandingkan dengan
sejumlah ideologi dunia, diuji kemampuannya sebagai ideologi bangsa Indonesia.
c. Pancasila dan Pandemi Tahun 2020 ditandai dengan
munculnya virus Covid-19. Ia tak hanya menjangkiti satu negara, melainkan
menjadi wabah dunia (pandemi). Penyebaran virus ini sangat cepat dan masif.
Sebagai pandemi, tentu penanganan terhadap penyebaran Covid-19 ini tidak bisa
hanya dilakukan oleh satu orang, satu kelompok, ataupun satu negara.
Penanganannya menuntut komitmen dan kerja sama lintas negara, yang melibatkan
seluruh warga dunia. Lalu, bagaimana tantangan dan peluang penerapan Pancasila
di era pandemi? Sikap dan tindakan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan
dalam menghadapi wabah ini? Kita akan mengulasnya dalam subtopik ini?
Unit 4 Proyek Gotong Royong Kewarganegaraan
Tujuan Pembelajaran: Pada unit ini, peserta didik diharapkan
dapat menginisiasi kegiatan, menetapkan tujuan, menentukan target bersama,
mengidentiikasi kekurangan dan kelebihan masing-masing anggota kelompok, serta
mampu mengidentiikasi hal-hal penting dan berharga yang dapat diberikan kepada
orang-orang yang membutuhkan, baik dalam skala kecil maupun besar.
a.Konsep
Gotong Royong
Rasa syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
lantaran saat ini kita telah sampai di penghujung bagian terakhir dari buku
ini. Pada bagian terakhir ini, kita akan belajar bersama tentang gotong royong.
Pernahkah kalian mendengar kata gotong royong? Ataukah kalian pernah ikut
gotong royong? Gotong royong merupakan identitas dan kekayaan budaya Indonesia.
Ada pepatah menyebutkan “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Pepatah ini
bermakna, pekerjaan berat jika dilakukan bersama-sama maka akan terasa ringan.
Pepatah ini dapat menggambarkan makna gotong royong. Lalu, apa yang dimaksud
gotong royong itu? Mari kita diskusikan bersama-sama! Sebagai makluk sosial,
manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia senantiasa membutuhkan bantuan orang
lain. Hal ini menjadi itrah manusia. Oleh karena itu, dalam kehidupan
masyarakat diperlukan adanya kerja sama, gotong royong, dan sikap saling
membantu untuk menyelesaikan bernagai permasalahan hidup
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata gotong
royong bermakna bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu-membantu). Kata
gotong royong sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu gotong dan royong. Gotong
artinya pikul atau angkat. Sedangkan royong artinya bersama-sama. Dengan
demikian, secara hariah gotong royong dapat diartikan mengangkat beban secara
bersama-sama agar beban menjadi ringan. Koentjaraningrat membagi dua jenis
gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu: gotong royong tolong-menolong
dan gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong-menolong bersifat
individual, misalnya menolong tetangga kita yang sedang mengadakan pesta
pernikahan, upacara kematian, membangun rumah, dan sebagainya. Sedangkan
kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan suatu
hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, seperti bersih-bersih desa/kampung,
memperbaiki jalan, membuat tanggul, dan lain-lain. Koentjaraningrat lebih
lanjut membagi jenis-jenis gotong royong yang terdapat pada masyarakat pedesaan
menajadi 4 (empat), yaitu: 1) tolong-menolong dalam aktivitas pertanian; 2)
tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga; 3) tolong-menolong dalam
aktivitas persiapan pesta dan upacara; 4) tolong-menolong dalam peristiwa
kecelakaan, bencana, dan kematian. Gotong-royong lahir atas dorongan kesadaran
dan semangat untuk mengerjakan sesuatu secara bersama-sama, serentak, dan
beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan pribadi. Gotong
royong harus dilandasi dengan semangat keikhlasan, kerelaan, kebersamaan,
toleransi, dan kepercayaan. Gotong-royong merupakan suatu paham yang dinamis,
yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya
bersama, suatu perjuangan bantu-membantu. Dalam gotong royong, melekat
nilai-nilai Pancasila, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah,
dan keadilan sosial yang merupakan landasan ilsafat bangsa Indonesia. Konsep
gotong royong dapat pula dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat. Hal ini
lantaran gotong royong dapat menjadi modal sosial (social capital) untuk
mendukung kekuatan institusional pada level komunitas, negara, dan lintas
bangsa. Dalam gotong royong termuat makna collective action to struggle, self
governing, common goal, dan sovereignty. Secara sosio-kultural, nilai gotong
royong merupakan semangat yang dimanifestasikan dalam berbagai perilaku
individu yang dilakukan tanpa pamrih guna mengerjakan sesuatu secara
bersama-sama demi kepentingan individu atau kolektif tertentu. Bintarto
menyatakan bahwa gotong royong merupakan perilaku sosial dan juga tata nilai
kehidupan sosial yang ada sejak lama dalam kehidupan di desa-desa Indonesia.
Secara sosio-historis, tradisi gotong royong tumbuh subur di pedesaan Indonesia
lantaran kehidupan pertanian memerlukan kerja sama yang besar untuk mengolah
tanah, menanam, memelihara hingga memetik hasil panen. Bagi bangsa Indonesia,
gotong royong tidak hanya bermakna sebagai perilaku, namun berperan pula
sebagai nilai-nilai moral. Hal ini mengandung pengertian bahwa gotong royong
senantiasa menjadi pedoman perilaku dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam
beragam bentuk.
b.Makna Penting Gotong Royong
Sebagai identitas budaya bangsa Indonesia, tradisi gotong
royong yang sarat dengan nilai-nilai luhur harus kita lestarikan. Terlebih lagi
Indonesia merupakan negara yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya, suku
maupun bahasa. Gotong royong dapat merekatkan dan menguatkan solidaritas
sosial. Ia melahirkan sikap kebersamaan, saling tolong-menolong, dan menghargai
perbedaan. Selain membantu meringankan beban orang lain, dengan gotong royong
kita juga dapat mengurangi kesalahpahaman, sehingga dapat mencegah terjadinya
berbagai konlik. Gotong royong yang mereleksikan suatu kebersamaan merupakan
pedoman untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari konlik. Di dalam gotong
royong, terkandung nilai-nilai yang dapat meningkatkan rasa kerja sama dan
persatuan warga. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi tradisi gotong royong
di tengah masyarakat sangatlah penting, terutama pada masyarakat yang majemuk.
Secara historis, spirit gotong royong berkontribusi besar dalam perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini, antara lain, dapat kita lihat dalam
penyebaran informasi kemerdekaan ke pelosok negeri dan dunia. Pasca Indonesia
memproklamasikan kemerdekannya, banyak pemuda datang ke Jalan Menteng 31 yang
menjadi tempat berkumpul para aktivis pemuda pada saat itu. Para pemuda
tersebut menyebarkan stensilan teks kemerdekaan ke berbagai daerah di
Indonesia. Beberapa pemuda tersebut di antaranya adalah M. Zaelani, anggota
Barisan Pemuda Gerindo, yang dikirim ke Sumatera. Tercatat juga nama Uteh Riza
Yahya, yang menikah dengan Kartika, putri Presiden Soekarno. Kemudian ada pula
guru Taman Siswa bernama Sulistio dan Sri. Ada juga aktivis Lembaga Putri,
Mariawati Purwo. Mereka menuju ke Sumatera bersama Ahmad Tahir untuk
menyebarkan kabar kemerdekaan. Selain itu, tercatat pula nama Masri yang
berangkat ke Kalimantan. Beberapa pemuda juga berangkat ke Sulawesi. Mereka
pergi ke luar Jawa membawa kabar kemerdekaan dengan menggunakan perahu. Di
Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa, berkeliling kampung
dengan naik sepeda untuk menyebarkan informasi kemerdekaan Indonesia kepada
masyarakat luas. Spirit gotong royong terus ditanamkan dan dipraktikkan oleh
para tokoh bangsa lintas agama dan etnis, baik dari kalangan sipil maupun dari
kalangan militer, selama revolusi kemerdekaan di Yogyakarta. Di kota bersejarah
ini, berkumpul tokoh-tokoh bangsa dari beragam latar agama, etnis, dan
pandangan politik. Dari sisi etnis, terdapat nama Soekarno, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Soedirman, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagoes Hadikoesoemo,
Sukiman Wirjosandjojo, Wahid Hasjim, dan I.J. Kasimo yang berlatar belakang
suku Jawa. Tercatat pula Ali sadikin, Ibrahim Adji, dan M. Enoch yang berlatar
belakang Sunda. Ada pula Mohammad Hatta, Agoes Salim, Sutan Sjahrir, Tan
Malaka, Mohammad Yamin, dan Muhammad Natsir yang berlatar belakang Suku Minang.
Ada juga Simatupang dan Nasution dari Tapanuli. Ada Kawilarang dan A.A. Maramis
dari Manado. Terdapat juga nama Muhammad Yusuf dari Makassar, Mr. Assaat dan
Teuku M. Hassan dari Aceh. A.R. Baswedan yang keturunan Arab, dan lain-lain.
Semangat gotong royong dengan mengesampingkan perbedaan begitu terasa di
Yogyakarta. Realitas ini, antara lain, dapat dilihat dari perjumpaan antara
tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh Nahdlatul Ulama (NU)
seperti K.H. Wahid Hasjim, tokoh Persatuan Islam seperti Muhammad Natsir, tokoh
Ahmadiyah seperti Sayyid Shah Muhammad Al-jaeni, tokoh Katolik seperti I.J.
Kasimo, dan sebagainya.
Contoh
Praktik Gotong Royong
Kalian tentu tahu bahwa Indonesia dikenal dunia karena
masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah, kekeluargaan, dan budaya gotong
royong. Sejak lama, budaya gotong royong mengakar di bumi Indonesia. Sartono
Kartodirjo menyebutkan bahwa gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang diwariskan
secara turun-temurun. Tradisi gotong royong bahkan menjadi penanda dan
identitas budaya bangsa Indonesia. Budaya gotong royong di Indonesia dapat
dilihat dalam berbagai macam bentuk dan istilah yang berbeda, sesuai dengan
daerah masing-masing. Misalnya di Jawa, dikenal dengan istilah sambatan.
Sambatan merupakan tradisi untuk meminta pertolongan kepada warga masyarakat
untuk membantu keluarga yang sedang membutuhkan bantuan, seperti membangun dan
memperbaiki rumah, membantu hajatan perkawinan, upacara kematian, dan
kepentingan-kepentingan lain yang membutuhkan bantuan orang banyak. Uniknya,
tanpa diminta untuk membantu, masyarakat akan nyengkuyung (bekerja bersama-sama
membantu tetangganya yang memiliki hajat). Mereka tidak berharap mendapatkan
keuntungan material atau berpikir untung-rugi. Mereka memiliki prinsip “loss
sathak, bathi sanak” yang artinya “lebih baik kehilangan materi daripada
kehilangan saudara”. Di Toraja, Sulawesi Selatan, tradisi gotong royong disebut
dengan arisan tenaga, yaitu kegiatan semacam kerja bakti bergilir untuk
menggarap sawah atau ladang milik warga lain. Suku Dayak di Kalimantan juga
melakukan tradisi yang kurang lebih sama yang disebut dengan tradisi sa’aleant.
Karena konsep gotong royong mengandung makna bekerja sama secara nyata, maka
sudah semestinya kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya
sekadar untuk didiskusikan. Lantas, bagaimana cara mempraktikkan gotong royong?
Ada banyak cara yang dapat kalian lakukan. Kalian dapat memulainya dengan melakukan
hal-hal sederhana yang ada di sekitar kalian, seperti membantu hajatan tetangga,
gotong royong mengatasi masalah lingkungan hidup, gotong royong menyantuni
orang miskin dan anak-anak yatim, gotong royong membersihkan kelas, dan sebagainya.
Ingat bahwa gotong royong tidak hanya sebatas pada kegiatan bersama yang bersifat
isik saja, tetapi dapat berupa kerja bersama non-isik, seperti mencari solusi
bersama atas sebuah persoalan, memberikan gagasan/ide, memberikan bantuan, dan
lain-lain
Sumber BGPPKn X ,BSPKKn X,Kementerian Pendidikan dan Riset
Tidak ada komentar:
Posting Komentar