Senin, 20 September 2021

Tantangan Penerapan Pancasila di dunia yang saling terhubung

 Tantangan Penerapan Pancasila di dunia yang saling terhubung

Upaya untuk menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal paling menantang dari materi Pancasila, di era Revolusi Industri 4.0. Tentu saja, tantangan dan peluang mengimplementasikan Pancasila pada 30 tahun yang lalu berbeda dengan hari ini, zaman telah berubah dan tantangan pun ikut berganti. Karena itu, marilah kita mengulas sejumlah tantangan dan peluang penerapan Pancasila pada era kekinian. Untuk lebih memudahkan, pembahasan mengenai topik peluang dan tantangan penerapan Pancasila ini akan diturunkan ke dalam beberapa sub topik berikut.

a. Ber-Pancasila di Era Media Sosial Menurut data We Are Social tahun 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi rakyat Indonesia. Setiap tahunnya pengguna internet terus mengalami peningkatan yang signiikan.

Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa media sosial menjadi tempat penyebaran hoaks yang sangat masif. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga 5 Mei 2020, mencatat sebanyak 1.401 konten hoaks dan disinformasi terkait Covid-19 yang beredar di masyarakat. Riset Dailysocial.id melaporkan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sebagian besar responden (44,19%) yang ditelitinya, tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks. Selain hoaks, media sosial juga digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, pemikiran intoleransi, dan radikalisme. Bahkan, menurut sejumlah lembaga penelitian, penyebarannya sangat masif. Di sisi lain, media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan gagasan dan program yang baik. Aktivitas mengumpulkan dana melalui media sosial (crowdfunding) untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pengobatan orang yang sakit, memperbaiki rumah, dan sebagainya juga banyak dilakukan.. Pendek kata, media sosial bak pisau bermata dua. Satu sisi, ia bisa menjadi alat untuk menebar kebaikan. Namun pada sisi lain, ia juga dapat menjadi alat untuk melakukan pengrusakan sosial. Kata kuncinya adalah bagaimana penggunaan media sosial, khususnya oleh peserta didik, dapat diarahkan kepada kebaikan

b. Borderless Society: Lalu Lintas Manusia, Informasi, dan Ideologi Tantangan lain pada abad ini adalah semakin kaburnya sekat-sekat geograis suatu negara. Masyarakat di suatu wilayah atau negara dapat terkoneksi dengan masyarakat lain di wilayah atau negara yang berbeda. Sekat-sekat geograis tak lagi signiikan akibat masifnya teknologi informasi. Hal ini membawa dua dampak sekaligus: positif dan negatif. Dampak positifnya, masyarakat dapat mempromosikan dan mengkampanyekan ide, gagasan, program dan aktivitas yang baik, serta mengangkat keunikan dan kearifan tradisi mereka ke khalayak global. Dampak negatifnya, segala yang tidak baik atau tidak patut dapat pula dengan mudah ditiru oleh masyarakat di belahan dunia yang berbeda. Pada titik ini, suatu interaksi sosial yang membentuk kepribadian manusia perlu dimaknai secara lebih luas. Interaksi sosial, tidak selalu bermakna interaksi isik: bertemunya satu orang dengan orang lain. Sejauh terkoneksi dengan internet, seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Situasi ini memberikan peluang dan sekaligus tantangan dalam upaya penerapan Pancasila. Peluangnya adalah ide, pemikiran, dan tradisi luhur yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila dapat dengan mudah dipromosikan ke masyarakat dunia. Tantangannya, Pancasila akan dipersandingkan atau bahkan dibandingkan dengan sejumlah ideologi dunia, diuji kemampuannya sebagai ideologi bangsa Indonesia.

c. Pancasila dan Pandemi Tahun 2020 ditandai dengan munculnya virus Covid-19. Ia tak hanya menjangkiti satu negara, melainkan menjadi wabah dunia (pandemi). Penyebaran virus ini sangat cepat dan masif. Sebagai pandemi, tentu penanganan terhadap penyebaran Covid-19 ini tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang, satu kelompok, ataupun satu negara. Penanganannya menuntut komitmen dan kerja sama lintas negara, yang melibatkan seluruh warga dunia. Lalu, bagaimana tantangan dan peluang penerapan Pancasila di era pandemi? Sikap dan tindakan seperti apa yang sebaiknya kita lakukan dalam menghadapi wabah ini? Kita akan mengulasnya dalam subtopik ini?


Unit 4 Proyek Gotong Royong Kewarganegaraan

Tujuan Pembelajaran: Pada unit ini, peserta didik diharapkan dapat menginisiasi kegiatan, menetapkan tujuan, menentukan target bersama, mengidentiikasi kekurangan dan kelebihan masing-masing anggota kelompok, serta mampu mengidentiikasi hal-hal penting dan berharga yang dapat diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, baik dalam skala kecil maupun besar.

                                                a.Konsep Gotong Royong

Rasa syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa lantaran saat ini kita telah sampai di penghujung bagian terakhir dari buku ini. Pada bagian terakhir ini, kita akan belajar bersama tentang gotong royong. Pernahkah kalian mendengar kata gotong royong? Ataukah kalian pernah ikut gotong royong? Gotong royong merupakan identitas dan kekayaan budaya Indonesia. Ada pepatah menyebutkan “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Pepatah ini bermakna, pekerjaan berat jika dilakukan bersama-sama maka akan terasa ringan. Pepatah ini dapat menggambarkan makna gotong royong. Lalu, apa yang dimaksud gotong royong itu? Mari kita diskusikan bersama-sama! Sebagai makluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini menjadi itrah manusia. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya kerja sama, gotong royong, dan sikap saling membantu untuk menyelesaikan bernagai permasalahan hidup

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata gotong royong bermakna bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu-membantu). Kata gotong royong sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu gotong dan royong. Gotong artinya pikul atau angkat. Sedangkan royong artinya bersama-sama. Dengan demikian, secara hariah gotong royong dapat diartikan mengangkat beban secara bersama-sama agar beban menjadi ringan. Koentjaraningrat membagi dua jenis gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu: gotong royong tolong-menolong dan gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong-menolong bersifat individual, misalnya menolong tetangga kita yang sedang mengadakan pesta pernikahan, upacara kematian, membangun rumah, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan suatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, seperti bersih-bersih desa/kampung, memperbaiki jalan, membuat tanggul, dan lain-lain. Koentjaraningrat lebih lanjut membagi jenis-jenis gotong royong yang terdapat pada masyarakat pedesaan menajadi 4 (empat), yaitu: 1) tolong-menolong dalam aktivitas pertanian; 2) tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga; 3) tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara; 4) tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian. Gotong-royong lahir atas dorongan kesadaran dan semangat untuk mengerjakan sesuatu secara bersama-sama, serentak, dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan pribadi. Gotong royong harus dilandasi dengan semangat keikhlasan, kerelaan, kebersamaan, toleransi, dan kepercayaan. Gotong-royong merupakan suatu paham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, suatu perjuangan bantu-membantu. Dalam gotong royong, melekat nilai-nilai Pancasila, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial yang merupakan landasan ilsafat bangsa Indonesia. Konsep gotong royong dapat pula dimaknai sebagai pemberdayaan masyarakat. Hal ini lantaran gotong royong dapat menjadi modal sosial (social capital) untuk mendukung kekuatan institusional pada level komunitas, negara, dan lintas bangsa. Dalam gotong royong termuat makna collective action to struggle, self governing, common goal, dan sovereignty. Secara sosio-kultural, nilai gotong royong merupakan semangat yang dimanifestasikan dalam berbagai perilaku individu yang dilakukan tanpa pamrih guna mengerjakan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan individu atau kolektif tertentu. Bintarto menyatakan bahwa gotong royong merupakan perilaku sosial dan juga tata nilai kehidupan sosial yang ada sejak lama dalam kehidupan di desa-desa Indonesia. Secara sosio-historis, tradisi gotong royong tumbuh subur di pedesaan Indonesia lantaran kehidupan pertanian memerlukan kerja sama yang besar untuk mengolah tanah, menanam, memelihara hingga memetik hasil panen. Bagi bangsa Indonesia, gotong royong tidak hanya bermakna sebagai perilaku, namun berperan pula sebagai nilai-nilai moral. Hal ini mengandung pengertian bahwa gotong royong senantiasa menjadi pedoman perilaku dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam beragam bentuk.

b.Makna Penting Gotong Royong

Sebagai identitas budaya bangsa Indonesia, tradisi gotong royong yang sarat dengan nilai-nilai luhur harus kita lestarikan. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya, suku maupun bahasa. Gotong royong dapat merekatkan dan menguatkan solidaritas sosial. Ia melahirkan sikap kebersamaan, saling tolong-menolong, dan menghargai perbedaan. Selain membantu meringankan beban orang lain, dengan gotong royong kita juga dapat mengurangi kesalahpahaman, sehingga dapat mencegah terjadinya berbagai konlik. Gotong royong yang mereleksikan suatu kebersamaan merupakan pedoman untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari konlik. Di dalam gotong royong, terkandung nilai-nilai yang dapat meningkatkan rasa kerja sama dan persatuan warga. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi tradisi gotong royong di tengah masyarakat sangatlah penting, terutama pada masyarakat yang majemuk. Secara historis, spirit gotong royong berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini, antara lain, dapat kita lihat dalam penyebaran informasi kemerdekaan ke pelosok negeri dan dunia. Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekannya, banyak pemuda datang ke Jalan Menteng 31 yang menjadi tempat berkumpul para aktivis pemuda pada saat itu. Para pemuda tersebut menyebarkan stensilan teks kemerdekaan ke berbagai daerah di Indonesia. Beberapa pemuda tersebut di antaranya adalah M. Zaelani, anggota Barisan Pemuda Gerindo, yang dikirim ke Sumatera. Tercatat juga nama Uteh Riza Yahya, yang menikah dengan Kartika, putri Presiden Soekarno. Kemudian ada pula guru Taman Siswa bernama Sulistio dan Sri. Ada juga aktivis Lembaga Putri, Mariawati Purwo. Mereka menuju ke Sumatera bersama Ahmad Tahir untuk menyebarkan kabar kemerdekaan. Selain itu, tercatat pula nama Masri yang berangkat ke Kalimantan. Beberapa pemuda juga berangkat ke Sulawesi. Mereka pergi ke luar Jawa membawa kabar kemerdekaan dengan menggunakan perahu. Di Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa, berkeliling kampung dengan naik sepeda untuk menyebarkan informasi kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat luas. Spirit gotong royong terus ditanamkan dan dipraktikkan oleh para tokoh bangsa lintas agama dan etnis, baik dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer, selama revolusi kemerdekaan di Yogyakarta. Di kota bersejarah ini, berkumpul tokoh-tokoh bangsa dari beragam latar agama, etnis, dan pandangan politik. Dari sisi etnis, terdapat nama Soekarno, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Soedirman, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Sukiman Wirjosandjojo, Wahid Hasjim, dan I.J. Kasimo yang berlatar belakang suku Jawa. Tercatat pula Ali sadikin, Ibrahim Adji, dan M. Enoch yang berlatar belakang Sunda. Ada pula Mohammad Hatta, Agoes Salim, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Yamin, dan Muhammad Natsir yang berlatar belakang Suku Minang. Ada juga Simatupang dan Nasution dari Tapanuli. Ada Kawilarang dan A.A. Maramis dari Manado. Terdapat juga nama Muhammad Yusuf dari Makassar, Mr. Assaat dan Teuku M. Hassan dari Aceh. A.R. Baswedan yang keturunan Arab, dan lain-lain. Semangat gotong royong dengan mengesampingkan perbedaan begitu terasa di Yogyakarta. Realitas ini, antara lain, dapat dilihat dari perjumpaan antara tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) seperti K.H. Wahid Hasjim, tokoh Persatuan Islam seperti Muhammad Natsir, tokoh Ahmadiyah seperti Sayyid Shah Muhammad Al-jaeni, tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo, dan sebagainya.

                                      Contoh Praktik Gotong Royong

Kalian tentu tahu bahwa Indonesia dikenal dunia karena masyarakat Indonesia memiliki sikap ramah, kekeluargaan, dan budaya gotong royong. Sejak lama, budaya gotong royong mengakar di bumi Indonesia. Sartono Kartodirjo menyebutkan bahwa gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi gotong royong bahkan menjadi penanda dan identitas budaya bangsa Indonesia. Budaya gotong royong di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai macam bentuk dan istilah yang berbeda, sesuai dengan daerah masing-masing. Misalnya di Jawa, dikenal dengan istilah sambatan. Sambatan merupakan tradisi untuk meminta pertolongan kepada warga masyarakat untuk membantu keluarga yang sedang membutuhkan bantuan, seperti membangun dan memperbaiki rumah, membantu hajatan perkawinan, upacara kematian, dan kepentingan-kepentingan lain yang membutuhkan bantuan orang banyak. Uniknya, tanpa diminta untuk membantu, masyarakat akan nyengkuyung (bekerja bersama-sama membantu tetangganya yang memiliki hajat). Mereka tidak berharap mendapatkan keuntungan material atau berpikir untung-rugi. Mereka memiliki prinsip “loss sathak, bathi sanak” yang artinya “lebih baik kehilangan materi daripada kehilangan saudara”. Di Toraja, Sulawesi Selatan, tradisi gotong royong disebut dengan arisan tenaga, yaitu kegiatan semacam kerja bakti bergilir untuk menggarap sawah atau ladang milik warga lain. Suku Dayak di Kalimantan juga melakukan tradisi yang kurang lebih sama yang disebut dengan tradisi sa’aleant. Karena konsep gotong royong mengandung makna bekerja sama secara nyata, maka sudah semestinya kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar untuk didiskusikan. Lantas, bagaimana cara mempraktikkan gotong royong? Ada banyak cara yang dapat kalian lakukan. Kalian dapat memulainya dengan melakukan hal-hal sederhana yang ada di sekitar kalian, seperti membantu hajatan tetangga, gotong royong mengatasi masalah lingkungan hidup, gotong royong menyantuni orang miskin dan anak-anak yatim, gotong royong membersihkan kelas, dan sebagainya. Ingat bahwa gotong royong tidak hanya sebatas pada kegiatan bersama yang bersifat isik saja, tetapi dapat berupa kerja bersama non-isik, seperti mencari solusi bersama atas sebuah persoalan, memberikan gagasan/ide, memberikan bantuan, dan lain-lain

 

Sumber BGPPKn X ,BSPKKn X,Kementerian Pendidikan dan Riset 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Materi ke IV Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI

Mapel Pendidikan Pancasila Kelas X TP3,TKR, TSM Materi ke IV Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI   Unit  1. Faham Kebangsaan, Nasional...