Kamis, 25 Februari 2021

Pengertian, Karakteristik, Penyebab dan cara penyelesaian Sengketa Iternasional

Pengertian, Karakteristik, Penyebab dan cara penyelesaian  Sengketa Iternasional

1.    Pengertian Sengketa Internasional

 Sengketa internasional (international despute) adalah sengketa antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan korporasi serta badan-badan bukan negara di pihak lain atau   perselisihan yang terjadi antara negara dengan negara, negara dengan individu-individu, atau negara dengan lembaga internasional yang menjadi subyek hukum internasional.

2.    Karakteristik Sengketa Internasional

Sengketa internasional memiliki karakteristik :

a.  Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a direct International disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. 

b.  Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan Warganegara AS di Freeport.

 

3.    Penyebab sengketa Internasional

  Sebab-sebab terjadinya sengketa internasional antara lain :

1)    Salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian internasional.

2)    Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional

3)    Perebutan sumber-sumber ekonomi

4)    Perebutan pengaruh ekonomi, politik, atau keamanan regional dan internasional.

5)    Adanya intervensi terhadap kedaulatan negara lain.

6)    Penghinaan terhadap harga diri bangsa.

 

4.    Cara Menyelesaikan Sengketa Internasional

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara damai maupun dengan cara kekerasan.

1.  Penyelesaian secara damai

Penyelesaian secara damai dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip :

a.  Prinsip itikad baik (good faith)

b.  Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa

c.  Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa

d.  Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa

e.  Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus)

f.   Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa (prinsip exhaustion of local remedies)

g.  Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:

1)  Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak

2)  Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri

3)  Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara

4)  Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional

Penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan dengan mekanisme hukum dan diplomasi.

a.  Penyelesaian dengan jalur hukum

1)  Arbitrase Internasional

Arbitrase adalah suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan, diselengarakan dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase, yang merupakan ”hakim swasta”. Arbitrase, yaitu penyelesaian sengketa internasional dengan cara menyerahkannya kepada orang tertentu atau Arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh mereka yang bersengketa, namun keputusannya harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan ( ex aequo et bono).

Prosedur penyelesaiannya, adalah :

a)  Masing-masing negara yang bersengketa menunjuk dua arbitrator, satu boleh berasal dari warga negaranya sendiri.

b)  Para arbitrator tersebut memilih seorang wasit sebagai ketua dari pengadilan
Arbitrase tersebut.

c)  Putusan diambil dengan suara terbanyak.

2)  Penyelesaian Yudisial

Sengketa internasional dapat juga diselesaikan melalui suatu pengadilan internasional dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum.

Ada dua mekanisme penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah internasional, yaitu mekanisme normal dan khusus.

a) Mekanisme Normal

§ Penyerahan perjanjian khusus yang berisi identitas para pihak dan pokok persoalan sengketa.

§ Pembelaan tertulis, berisi fakta, hukum yang relevan, tambahan fakta baru, penilakan atas fakta yang disebutkan dan berisi dokumen pendukung.

§ Presentasi pembelaan bersifat terbuka dan umum atau tertutup tergantung pihak yang bersengketa.

§ Keputusan bersifat menyetujui dan penolakan. 

b) Mekanisme Khusus

§ Keberatan awal karena ada keberatan dari pihak sengketa karena Mahkamah Intrnasional dianggap tidak memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas kasus tersebut.

§ Ketidakhadiran salah satu pihak yang bersengketa, biasanya dilakukan oleh Negara tergugat atau respondent karena menolak yurisdiksi Mahkamah Internasional.

§ Keputusan sela, untuk memberikan perlindungan terhadap subyek persidangan, supaya pihak sengketa tidak melakukan hal-hal yang mengancah efektivitas persidangan Mahkamah internasional.

§ Beracara bersama, beberapa pihak disatukan untuk mengadakan sidang bersama karena materi sama terhadap lawan yang sama.

§ Intervensi, yakni Mahkamah Internasional memberikan hak kepada negara lain yang tidak terlibat dalam sengketa untuk melakkan intervensi atas sengketa yang sedang disidangkan bahwa dengan keputusan Mahkamah Internasional ada kemungkinan negara tersebut dirugikan.

b.  Penyelesaian sengketa dengan cara diplomatik 

1)  Negosiasi, tidak seformal arbitrase dan yudisial. Terlebih dahulu dilakukan konsultasi dan komunikasi agar negosiasi dapat berjalan semestinya.

2)  Mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa internasional dimana negara mediator bersahabat dengan para pihak yang bersengketa, dan membantu penyelesaian sengketanya secara damai. 

3)  Konsiliasi, dalam arti luas adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan Negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Konsiliasi dalam arti sempit, adalah suatu penyelesaian sengketa internasional melalui komisi/komite dengan membuat laporan atau ussul penyelesaian kepada pihak sengketa dan tidak mengikat.

4)  Penyelidikan (inquiury), adalah biasanya dipakai dalam perselisisihan batas wilayah suatu negara dengan menggunakan fakta-fakta untuk memperlancar perundingan.

2.                    Penyelesaian sengketa secara   kekerasan  

Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Penyelesaian dengan cara paksa atau kekerasan dilakukan melalui :

a.  Perang dan tindakan bersenjata non perang, bertujuan untuk menaklukkan negara lawan dan membebankan syarat penyelesaian kepada Negara lawan.

b.  Retorsi, adalah pembalasan dendam oleh suatu Negara terhadap tindakan – tindakan tidak pantas yang dilakukan Negara lain. Contoh menurunkan status hubungan diplomatic, atau penarikan diri dari kesepakatan-kresepakatan fiscal dan bea masuk.

c.  Reprisal , yakni tindakan-tindakan pembalasan, adalah cara penyelesaian sengketa internasional yang digunakan suatu negara untuk mengupayakan memperoleh ganti rugi dari Negara lain. Adanya pemaksaan terhadap suatu Negara.

d.  Blokade secara damai, adalah tindakan yang dilakukan pada waktu damai, tapi merupakan suartu pembalasan. Misalnya permintaan ganti rugi atas pelabuhan yang di blockade oleh Negara lain.

e.  Intervensi (campur tangan),adalah campur tangan terhadap kemerdekaan politik tertentu secara sah dan tidak melanggar hukum internasional. Contohnya :Intervensi kolektif sesuai dengan piagam PBB; Intervesi untuk melindungi hak-hak dan kepentingan warga negaranya; Pertahanan diri; Negara yang menjadi obyek intervensi dipersalahkan melakukan pelanggaran berat terhadap hukum

internasional.

Mahkamah Internasional

 Mekanisme Kerja Mahkamah Internasional

Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan Mahkamah Internasional. Kelima aturan atau dasar hukum tersebut adalah:

·   Piagam PBB (1945). Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal  yaitu pasal 92-96. 

·   Statuta MI (1945). Di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 - 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68)

·   Aturan Mahkamah atau Rules of the Court (1970) yang telah diamandemen pada tanggal 5 Desember 2000. Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-rectroactive.

·   Panduan Praktek atau Practice Directions I – IX . Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI.

·   Resolusi  tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah atau Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court yang diadopsi pada tanggal 12 April 1976 dari Pasal 19 Aturan Mahkamah (1970). Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968.

Pihak yang beracara

Untuk kasus yang bersifat contentious (sengketa dua pihak), Statuta MI membatasi hanya negara yang dapat beracara di MI. Ada tiga kategori negara atau state yang dapat beracara di MI yaitu:

·   negara Anggota PBB. Mengacu kepada pasal 35(1) dari Statuta MI dan pasal 93 (1) dari Piagam PBB, Negara anggota PBB adalah ipso facto (karena faktanya sendiri; menurut kenyataannya sendiri) terhadap statuta MI dan otomatis mempunyai akses ke MI. Kurang lebih ada 189 negara yang telah menjadi anggota PBB.

·   negara bukan anggota PBB akan tetapi tunduk kepada Statuta MI. Selain itu Negara yang bukan anggota PBB dan bukan anggota Statuta MI dapat juga beracara di MI dengan persyaratan tertentu yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB.  Adapun persyaratan yang dimaksud adalah menerima ketentuan dari Statuta MI, Piagam PBB (pasal 94) dan segala ketentuan berkenaan dengan pengeluaran dari MI atas dasar pertimbangan Majelis Umum PBB.

·   negara yang bukan anggota dan tidak masuk dalam wilayah/ Statuta MI. Untuk Negara-negara yang masuk dalam kategori ini harus membuat deklarasi untuk tunduk kepada segala ketentuan MI dan Piagam PBB (pasal 94),

      Salah satu kasus utama berkaitan dengan status negara untuk beracara di MI adalah kasus tentang Pelaksanaan dari Konvensi Pencegahan dan Penghukuman atas Kejahatan Pembunuhan.  Kasus ini mengetengahkan sengketa tentang penafsiran pasal 35 Statuta MI, siapa yang berhak menjadi pihak yang dapat beracara di MI, dalam hal ini, sengketa antara Bosnia-Herzegovina atau Yugoslavia. Pada keputusannya, MI menerima locus standi (kedudukan) dari kedua pihak dengan dasar bahwa keduanya adalah anggota dari konvensi tersebut diatas.

Urutan Beracara

Perlu diketahui bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious (sengketa dua pihak). Prosedur beracaranya adalah sbb:

1. Penyerahan Perjanjian Khusus (Notification of Special Agreement) atau Aplikasi (Application)

2.   Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent  yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.

3.   Setelah diterima oleh Registrar (register)  MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa  (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya.  Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI.

4.   Pembelaan

Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings).  Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis  maupun presentasi pembelaan.

5.  Keputusan (Judgment)

Keputusan Mahkamah Internasioanal dan Dampaknya

Sifat keputusan Mahkamah Internasional adalah :

a)    Mengikat ( pihak yang bersengketa dan pada perkara yang diputuskan )

b)    Final : tidak bisa banding, namun bisa mengajukan revisi bila ditemukan bukti-bukti baru

c)    Berdasarkan hukum

d)    Ex aequo et bono

e)    Mayoritas dari hakim yang hadir , bila perbandingannya sama maka keputusan ditentukan oleh pendapat  Presiden Mahkamah Internasional

Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai:

1)    para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir.

2)    pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai.

3)    MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan. 

Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions  dan pendapat yang menyetujui atau declarations.

Peran Mahkamah Internasional sangat menentukan kepada kedua negara yang sedang bersengketa. Dalam hal ini, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk memeriksa, menyelesaikan sengketa hingga memberikan keputusan atas dasar sengketa tersebut.

Dengan demikian suatu negara yang tidak mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dapat berdampak :

a)    merusak citra negara tersebut dalam pergaulan antar bangsa.

b)    Negara tersebut dikucilkan dari pergaulan internasional

c)    dihentikannya bantuan dari negara lain

d)    terputusnya hubungan diplomatik kedua negara

e)    timbulnya ketidak harmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selasa, 23 Februari 2021

Kebebasan Pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan pers (tgl 24 Feb 2021)

 Kebebasan Pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan pers (tgl 24 Feb 2021)

 

A.   Penyalahgunaan kebebasan Pers

       Meskipun landasan bagi para pekerja pers dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sudah ada ,akan tetapi selalu saja terjadi penyalahgunaan informasi melalui media.Hal ini merupakan indikator utama dari adanya penyimpangan dalam penggunaan kebebasan pers.Berikut ini beberapa contoh penyalahgunaan kebebasan pers dan penyalahgunaan penyampaian informasi melalui media massa.

1.    Penyiaran berita yang tidak memenuhi kode etik jurnalistik

     Penyiaran berita dan penyampaian informasi adakalanya tidak memperhatikan aturan sebagaimana yang termyat dalam kode etik jurnalistik .Hal ini terutama sering dilakukan oleh para pekerja pers yang belum profesional sehingga merugikan pighak tertentu .Misalnya pelanggaran asas praduga tak bersalah dengan menyebutkan nama tersangka dan foto lengkap tersangka dalam berita kriminal.Hal ini tentu saja sangat bertentangan dan melanggar hak asasi manusia

2.    Peradilan oleh pers

     Berita yang kurang berimbang dan tidak menggunakan pihak kedua kadang –kadang terlalu jauh dilakukan oleh pers .Hal ini tentusaja secara tidak langsung melanggar asas praduga tak bersalah

3.    Membentuk opini yang menyesatkan

     Berita yang disiarkan  media massa dapat membentuk opini masyarakat .Terkadang opini yang terbentuk di masyarakat kurang tepat bahkan menyesatkan.Hal ini disebabakan karena berita yang disampaikan oleh para pekerja pers tidak memperhatikan unsur obyektivitas .Dengan demikian masyarakat dapat terpengaruh pola pikir dan pendapat yang menyesatkan.

4.    Bentuk tulisan yang bersifat profokatif

    Adakalanya suatu media massa menurunkan informasi atau berita kepada masyarakat yang berbau pengaruh yang menimbulkan emosi terhadap terhadap warga masyarakat tertentu.Hal demikian dapat terjadi karena kekhilafan penulis berita atau redaksi atas peliputan peristiwa tertentu  atau mungkin juga disebabkan oleh informasi sumber berita atau sebab-sebab lain

5.    Pelanggaran terhadap ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Pemberian informasi yang disampaikan oleh pekerja pers adakalanya lepas kontrol.Bahkan tanpa disadarinya ,pemberitaan yang disampaikannya melanggar ketetuan –ketentuan yang termaktub dalam Kitan Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP).Adapun tindakan pelanggaran (delik) hukum pidana yang dilakukan oleh pers,diantaranya:

a.    Delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden

b.    Delik penyebar kebencian

c.    Delik penghinaan agama

d.    Delik kesusilaan

e.     Iklan yang menipu

 

B.Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Pers

Perkembangan kehidupan pers pasca reformasi masih diwarnai oleh banyaknya keluhan, baik dari masyarakat, pemerintah, maupun dari kalangan pers sendiri. Mereka pada dasarnya masih merasakan bahwa tidak sedikit pemberitaan media massa yang dianggap kurang memperhatikan kode etik jurnalistik atau pun Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sehingga berdampak negatif, dan merugikan masyarakat/pemerintah.

Banyaknya berita yang dikembangkan media massa baik cetak maupun elektronik yang cenderung hanya untuk menaikkan tiras atau oplah, atau hanya untuk mencari popularitas saja, berdampak antara lain :

a.    Bagi kehidupan pribadi

Pemberitaan yang tidak obyektif terhadap seseorang yng dilakukan oleh pers dapat menimbulkan kerugian bagi orang tersebut , di antaranya :

§ Merusak citra diri orang yang bersangkutan

§ Timbulnya fitnah

§ Timbulnya sikap antipati terhadap orang tersebut

b.    Bagi masyarakat

Tidak tertutup kemungkinan pemberitaan pers yang tidak proporsional dan professional dapat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat seperti :

§ Aktivitas pers yang mengabaikan fungsi memberikan pendidikan kepada masyarakat, dapat memicu munculnya kekerasan di masyarakat, anarkhis, main hakim sendiri dan sebagainya.

§ Kebebasan pers yang tanpa batas dapat membentuk opini di masyarakat yang cenderung kontraproduktif dengan program dan kebijakan pemerintah

§ Retaknya hubungan masyarakat dengan pers

§ Rusaknya citra komunitas masyarakat tertentu karena informasi yang disajikan bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya

§ pers yang berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang jumlahnya lebih besar dibanding masyarakat yang telah terdidik

c.    Bagi bangsa dan Negara

Media massa yang melakukan penyimpangan kebebasan pers juga dapat merugikan bangsa dan negara, antara lain :

§ Menurunnya tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap pemerintah/Negara. Masyarakat dapat bersifat acuh tak acuh terhadap program dan kebijakan pemerintah/Negara

§ Merosotnya tingkat kepercayaan dunia internasional terhadap bangsa dan Negara Indonesia.

  

Sumber

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI PPKn SMA/MA/SMK/MAK XII

PPKn kelas XII untuk SMK/MAK,Bumi Aksara ,

MGMP PPKn Kab Banyumas,

PPKn untuk SMK Tingkat XII Kokom Komalasari ,Armico

 

Materi ke IV Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI

Mapel Pendidikan Pancasila Kelas X TP3,TKR, TSM Materi ke IV Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI   Unit  1. Faham Kebangsaan, Nasional...