Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya. Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua.
Mari kita cermati komposisi para peserta Sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70 anggota yang berlatarbelakang suku dan agama yang tidak sama.
Tak hanya menghormati, kebudayaankebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara maupun kebudayaan antar negara, sebaiknya membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong harmonisasi. Kolaborasi antarbudaya bisa menjadi agenda berikutnya.
Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu ataupun kelompok. Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga, serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersamasama.
Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaboratif maka identitasidentitas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersamasama disepakati sebagai identitas nasional
Aktivitas Belajar
a. Lakukan diskusi dengan pertanyaan pemantik “Kapan keragaman itu menjadi kekuatan dan kelemahan?”
b. Sebagai bahan bacaan, kalian bisa menelaah tulisan di bawah ini yang berjudul 1) “Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia” https:// www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan yang-dipicu-masalah-keberagaman-di-indonesia?page=all
"Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia", https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadapminoritas-di-indonesia-fXpD
c. Kalian kemudian mendiskusikan bacaan tersebut lalu menganalisis keragaman dalam bentuk tabel. Bilamana keragaman menjadi kekuatan dan kelemahan.
d. Diskusikan juga beberapa pertanyaan berikut:
1) Bagaimana pendapatmu tentang banyaknya kasus kekerasan yang terjadi kepada kelompok minoritas?
2) Mengapa sampai terjadi banyak sekali kekerasan terhadap kelompok minoritas?
3) Apakah kekerasan yang terjadi patut untuk dilakukan?
4) Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi tersebut menjadi lebih baik
“Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia”
Kompas.com/Rahman Patty (2014) KOMPAS.com - Indonesia merupakan negara yang beragama. Indonesia memiliki suku bangsa, adat istiadat, budaya dan ras yang berbeda-beda tersebar di wilayah Indonesia.
Namun keberagaman tersebut terus dilakukan diuji dengan munculnya berbagai konlik yang terjadi diberbagai daerah. Konlik-konlik menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan harus mengungsi.
Diberitakan Kompas.com (23/12/2012), Yayasan Denny JA mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia.
Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Sementara sisanya kekerasan etnik sekitar 20 persen, kekerasan gender sebanyak 15 persen, kekerasan seksual ada 5 persen. Dari banyak kasus yang terjadi tercatat ada beberapa konlik besar yang banyak memakan jatuh korban baik luka atau meninggal, luas konlik, dan kerugian material.
Berikut sejumlah beberapa konlik di Indonesia tersebut.
Konlik Ambon
Menurut Yayasan Denny JA, konlik Ambon, Maluku merupakan konlik terburuk yang terjadi di Indonesia setelah reformasi. Di mana telah menghilangkan nyawa sekitar 10.000 orang. Diberitakan Kompas.com (19/1/2020), konlik Ambon berlangsung pada 1999 hingga 2003. Dalam konlik tersebut tercatat ribuan warga meninggal, ribuan rumah dan fasilitas umum termasuk tempat ibadah terbakar. Bahkan ratusan ribu warga harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi dan meninggalkan Maluku atas konlik tersebut. Konik Ambon berlangsung selama empat tahun.
Konlik Sampit
Konlik Sampit, Kalimantan Tengah terjadi pada 2001. Konlik antaretnis tersebut berawal dari bentrokan antara warga Suku Dayak dan Suku Madura pada 18 Februari 2001. Diberitakan Kompas.com (13/6/2018), konlik tersebut meluas ke seluruh Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk di ibu kota Palangkaraya. Diduga, konlik tersebut terjadi karena persaingan di bidang ekonomi. Pada konlik tersebut Komnas HAM membentu Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Sampit. Menurut, Yayasan Denny JA, tercatat ada sekitar 469 orang meninggal dalam konlik tersebut. Sebanyak 108.000 orang harus mengungsi.
Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan yang berlangsung di Jakarta tersebut setidaknya banyak korban yang meninggal, pemerkosaan dan 70.000 orang harus mengungsi. Kerusuhan tersebut terjadi pada 13-15 Mei 1998. Dikutip Kompas.com (13/5/2019), kerusuhan tersebut dilatarbelakangi terpilihnya kembali Soeharto sebagi presiden pada 11 Maret 1998. Mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan dan terjadi kericuhan dengan aparat. Dampaknya ada mahasiswa yang terluka dan meninggal. Tragedi berdarah juga menimpa mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Mahasiswa yang melakukan aksi harus berhadapan dengan aparat keamanan. Mediasi dilakukan dengan konsekuensi mahasiswa diminta kembali ke kampus Trisakti. Namun, upaya ini tak sesuai rencana. Terdengar letusan senjata api yang membuat empat mahasiswa meninggal. Yakni Elang Mulia Lesmana, Haidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara mahasiswa yang lain mengalami luka-luka. Kondisi itu membuat aksi mahasiswa semakin luas dan berlangsung beberapa hari. Bahkan massa menduduki Gedung MPR/DPR.
Tragedi Trisaksi pada 12 Maret 1998 ini merupakan pemicu aksi yang lebih besar. Setelah korban mendapatkan perawatan, pihak Universitas Trisaksi menuntut aparat keamanan terkait peristiwa ini. Mereka menuntut aparat bertanggung jawab. Selain jatuh korban meninggal dan luka. Peristiwa tersebut juga menimbulkan kerugian mencapai Rp 2,5 triliun. Bulan Mei pun dikenang masyarakat Indonesia sebagai bulan duka atas munculnya korban jiwa akibat aksi kerusuhan. Besarnya kerusuhan itu menyebabkan situasi pemerintahan tidak stabil. Soeharto pun semakin sulit memegang kendali pemerintahannya. Pada 21 Mei 1998, Soeharto mundur sebagai presiden.
Konlik Ahmadiyah
Konlik Ahmadiyah berlangsung pada 2016-2017. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konlik tersebut mendapat sorotan media cukup kuat. Pasca konlik terjadi selama 8 tahun para pengungsi tidak jelas nasibnya. Mereka sulit memperoleh fasilitas pemerintah, seperti KTP.
Konlik Lampung
Konlik di Lampung Selatan telah menimbulkan korban meninggal 14 orang dan ribuan orang mengungsi. Konlik Lampung terjadi pada 2012
Konlik Poso
Konlik Poso, Sulawesi Tengah terjadi antara kelompok Muslim dengan Kelompok Kristen. Konlik tersebut terjadi pada akhir 1998 hingga 2001. Sejumlah rekonsiliasi dilakukan untuk meredakan konlik tersebut. Kemudian munculnya ditandatangani Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001. Belum diketahui secara pasti korban akibat konlik Poso. Sumber:https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan-yang-dipicu-masalah-keberagaman-di-indonesia?page=al
Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia
Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia tidak juga kunjung berakhir. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus ini juga jarang terselesaikan dengan baik. Terakhir, kasus kekerasan ini terjadi di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2020).
Tindak kekerasan dan penyerangan di Solo tersebut dilakukan oleh sekelompok orang pada upacara Midodareni yang diselenggarakan di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pada Sabtu, (8/8/2020).
Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal. Sedikit catatan, Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan.
Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengecam tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, insiden tersebut menambah catatan buruk kasus intoleransi di Indonesia. Padahal, Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi tindak intoleransi di Indonesia.
Kejadian tersebut memperpanjang datar tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas khususnya dalam kerukunan beragama. Pada 2018 lalu, Komnas HAM bersama Litbang Kompas meluncurkan survei berjudul "Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi".
Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Misalnya, sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama.
Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden mengatakan mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen responden juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama.
Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait diskriminasi ras dan etnik sepanjang 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada 2016. Jumlah pengaduan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dengan 34 aduan.
Fluktuatif
Kementerian Agama setiap tahun merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, KUB merupakan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Indeks tersebut digambarkan dengan angka 0-100. Komponen penilaian yang disorot dalam penilaian ini yaitu kesetaraan, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama. Skor indeks KUB nasional mengalami luktuasi setiap tahunnya, mulai dari 75,35 pada 2015 hingga menjadi 73,83 pada 2019. Angka rerata nasional sempat turun pada 2017-2018 hingga menjadi 70,90 pada 2018.
Saat mengumumkan angka indeks KUB 2018, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud menyebut banyak peristiwa yang terjadi pada periode 2017-2018 yang menguji kerukunan berbangsa dan bernegara.
"Kental terasa di benak kita, isu-isu keagamaan bersinggungan dengan isu-isu politik. Atau, ada juga yang menganggap bahwa ras dan agama telah dibawa menjadi isu politik atau politisasi agama menjelang perhelatan Pileg dan Pilpres serentak pada 17 April 2019” ujar Mas’ud, Senin (25/3/2019).
Mas’ud mencontohkan peristiwa keagamaan yang bersinggungan dengan politik pada periode 2016-2017 yaitu kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), situasi menjelang Pilkada DKI 2017, serta residu politik pada 2018-2019 menjelang Pemilu serentak.
Pada 2019, Kementerian Agama mencatat 18 provinsi mendapatkan skor di bawah rerata nasional 73,83. Tiga provinsi dengan skor terendah yaitu: Jawa Barat 68,5; Sumatera Barat 64,4; dan Aceh 60,2.
Selain terhadap perbedaan agama, tingkat toleransi atau penerimaan terhadap isu lain dapat dilihat dari Social Progress Index yang dirilis oleh Social Progress Imperative. Indeks tersebut dirancang untuk melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara melalui tiga variabel penilaian yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity dengan skor 0-100.
Variabel opportunity dapat menjadi sorotan ketika melihat tingkat toleransi di Indonesia. Dalam variabel tersebut, terdapat komponen penilaian inclusiveness. Komponen inclusiveness merupakan penilaian tingkat penerimaan masyarakat terhadap seluruh golongan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi tanpa ada pengecualian.
Jika dirinci, komponen inclusiveness terdiri dari beberapa sub komponen penilaian yaitu penerimaan terhadap gay dan lesbian, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan gender, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan posisi sosial ekonomi, dan kesetaraan kekuatan politik berdasarkan kelompok sosial. Pada periode 2015-2019, skor inclusiveness Indonesia pada awalnya menunjukan tren peningkatan pada tiga tahun pertama, kemudian turun dua tahun terakhir
Pada 2015, skor inclusiveness Indonesia sebesar 38,68 kemudian naik menjadi 40,81 pada 2016 dan 42,03 pada 2017. Skor kemudian turun menjadi 40,77 pada 2018, dan kembali turun pada 2019 menjadi 39,96. Skor pada 2019 tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 149 negara.
Periode 2018-2019 memang merupakan periode yang banyak diisi oleh agenda politik, utamanya menjelang Pemilu 2019. Tidak jarang, sejumlah agenda politik tersebut bersinggungan dengan pemanfaatan isu identitas termasuk ras, agama, dan kelompok minoritas untuk kepentingan politik.
Dalam lima tahun terakhir, tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas memang seolah mendapatkan traksi pada pagelaran politik. Salah satu contoh yang paling kentara boleh jadi tampak pada kasus penistaan agama yang melibatkan calon gubernur DKI Jakarta Basuk Tjahaja Purnama atau Ahok di 2016.
Lebih lanjut, fenomena peningkatan tindak intoleransi dan diskriminasi ini memiliki dampak tidak langsung terhadap situasi demokratisasi di Indonesia. Laporan indeks demokrasi oleh he Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, situasi demokratisasi Indonesia sedikit 'terganggu' dalam lima tahun terakhir. Catatan singkat, EIU menyusun indeks tersebut melalui lima variabel penilaian dengan rentang skor 0-10 terhadap 165 negara.
Berdasarkan laporan EIU, indeks demokrasi Indonesia tercatat mengalami tren menurun sejak 2016, meskipun mengalami kenaikan pada 2019. Indeks demokrasi Indonesia turun menjadi 6,97 dari tahun sebelumnya 7,03. Skor tersebut kembali turun menjadi 6,39 pada 2017 dan stagnan pada tahun berikutnya. Kenaikan skor terjadi pada 2019 menjadi 6,48.
Meskipun Pemilu serentak 2019 telah usai, kasus terkait intoleransi dan diskriminasi yang bersinggungan dengan identitas belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Terlebih, hingga tulisan ini dimuat, Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) serentak di beberapa daerah masih direncanakan akan tetap diselenggarakan di 2020 di tengah situasi pandemi. A Flourish chart.
Sumber: https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXp
Uji Pemahaman
Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman kalian tentang unit ini, jawablah pertanyaan berikut:
a. Apa kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPK yang memiliki keragaman latar belakang agama dan budaya?
b. Berikan analisismu atas konflik bernuansa suku dan agama yang pernah terjadi di Indonesia?
c. Apa manfaat yang dapat diambil dari kunjungan ke kelompok minoritas?
d. Setelah kalian berkunjung ke kelompok minoritas, bagaimana persepsi kalian terhadap mereka?
sumber : BGS PPKn SMA/SMK Kelas X Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar