Minggu, 03 April 2022

NKRI dan Kedaulatan Wilayah

 NKRI dan Kedaulatan Wilayah

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut Pasal 1 angka 1 UndangUndang Nomor 43 Tahun 2008 adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

   Pengaturan terhadap suatu wilayah negara penting dilakukan oleh setiap negara, meliputi wilayah laut teritorial beserta dasar laut, tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, daratan, perairan kepulauan, perairan pedalaman, dan seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya, agar dapat memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai wilayah negara. 

 Karena itu, NKRI mempunyai kedaulatan atas wilayahnya, serta memiliki hak - hak berdaulat dan kewenangan tertentu untuk mengelola dan memanfaatkan sebesar­besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

   Selanjutnya, pada angka 4 dalam Undang­Undang Nomor 43 Tahun 2008 disebutkan juga bahwa batas wilayah negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. NKRI merupakan suatu organisasi dari rakyat Indonesia untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh rakyat Indonesia.

  Letak geograis Indonesia berada pada posisi antara dua benua dan dua samudera. Dua benua itu adalah Benua Asia yang terletak di sebelah utara dan Benua Australia yang berada di sebelah selatan. Sedangkan dua samudera yang dimaksud adalah Samudera Pasiik di sebelah timur dan Samudera Hindia di sebelah barat Indonesia.

  Letak Indonesia yang strategis tersebut, membuat konsekuensi berbatasan dengan banyak negara, baik di laut maupun darat. Berikut beberapa kawasan Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara lain.

 a. Kawasan perbatasan laut dengan hailand, India, dan Malaysia di Aceh, Sumatera Utara dan dua pulau kecil terluar.

 b. Kawasan perbatasan laut dengan Malaysia, Vietnam, dan Singapura di Riau, Kepulauan Riau dan 20 (dua puluh) pulau kecil terluar.

 c. Kawasan perbatasan darat dengan Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. 

 d. Kawasan perbatasan laut dengan Malaysia dan Filipina di Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan 18 (delapan belas) pulau kecil terluar.

 e. Kawasan perbatasan laut dengan pulau di Maluku Utara, Papua Barat, Papua dan 8 (delapan) pulau kecil terluar. 

 f. Kawasan perbatasan darat dengan Papua Nugini di Papua. 

 g. Kawasan perbatasan laut dengan Timor Leste dan Australia di Papua, Maluku dan 20 (dua puluh) pulau kecil terluar.

 h. Kawasan perbatasan darat dengan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur.

 i. Kawasan perbatasan laut dengan Timor Leste dan Australia di NTT dan 5 (lima) pulau kecil terluar.

 j. Kawasan perbatasan laut berhadapan dengan laut lepas di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan 19 (sembilan belas) pulau kecil terluar.  

Sumber BPG PPKn Kementerian Pendidikan, Kebudayaan , Riset dan Teknologi  Republik Indonesia 2021

Rabu, 23 Maret 2022

Filosofi Faham Kebangsaan


 Filosofi Faham Kebangsaan 

Tegak berdirinya Indonesia sesungguhnya dibangun oleh ide-ide besar dari para pendiri bangsa (the founding fathers). Di antara ide itu, tentang paham kebangsaaan, yang dalam rapat atau sidang-sidang sebelum Indonesia merdeka, seperti pada BPUPK 29 Mei-1 Juni 1945, terjadi diskusi atau tukar pikiran mengenai apa yang dimaksud dengan bangsa dan kebangsaan itu? 

    Perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh bangsa dalam sidang BPUPK tentang makna kebangsaan terlihat dalam pidato Soekarno, 1 Juni 1945. Pendapat Soekarno menjadi titik tolak dalam merumuskan konsep kebangsaan dalam konteks Indonesia.

   Dalam sidang BPUPK, perbedaan pandangan mengenai suatu persoalan dapat dilihat dari dua kelompok, antara kubu nasionalis dan islamis. Karena itu, Soekarno memberikan penekanan bahwa apa yang disampaikannya saat sidang, atas dasar sebagai bagian dari bangsa, yang tidak memiliki tendensi untuk menolak atau mendukung salah satu kubu. 

  Sebagaimana terlihat secara eksplisit dalam petikan pidatonya, Soekarno menggarisbawahi dua hal. Pertama, tentang identitas dirinya yang juga merupakan penganut agama Islam, sehingga pendapat-pendapatnya tidak dimaksudkan untuk menyerang atau menolak pandangan tokoh Islam. Kedua, meletakkan paham kebangsaaan sebagai dasar tegak berdirinya sebuah negara. 

  Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan.

  Soekarno, jika kita baca isi pidatonya dengan seksama, akan terlihat, di satu sisi ia setuju dengan Ki Bagus Hadikusumo, sedang di sisi lain, ia justru tidak setuju kepada tokoh-tokoh perumus konsep kebangsaan seperti Ernest Renan dan Otto Bauer. 

    Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. 

   Soekarno mengajukan pertanyaan: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa? Upaya menjawab pertanyaan yang diajukannya itu, di sinilah terlihat wawasan kebangsaan Soekarno yang begitu luas. Ia pada awalnya ingat dan mengutip pendapat tokoh terkemuka bernama Ernest Renan dan Otto Bauer. 

    Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut deinisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. 

   Kalau kita lihat deinisi orang lain, yaitu deinisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschat erwachsene Charaktergemeinschat”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib). 

   Namun demikian, Soekarno tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer. Sebab, kata Soekarno, tatkala Otto Bauer mengadakan devinisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.

  Geopolitik adalah merujuk pada hubungan antara politik dengan teritori dalam skala lokal, nasional, dan internasional; ilmu atau studi mengenai penyelenggaraan negara yang kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geograi wilayah atau daerah pada suatu bangsa. 

   Soekarno pada akhirnya setuju dengan Ki Bagus Hadikusumo dan Munanan, sekaligus menegaskan, bahwa kebangsaan itu erat hubungannya dengan persatuan antara “orang dan tempat”.

    Perhatikan penjelasan Soekarno berikut: Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya! 

  Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschat”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manu sia itu, Apakah tempat itu?

  Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana”kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. 

   Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, lautan Paciic dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. 

Persatuan antara orang dan tempat itulah yang melahirkan apa yang lazim disebut “Tanah Air kita” atau “tumpah darah kita”. 

 Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!

 Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah deinisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensembles”, tidak cukup deinisi Otto Bauer “aus schiksalsgemeinschat erwachsene Charaktergemeinschat” itu. 

 Menurut Soekarno, bangsa atau kebangsaan itu tidak berdasarkan satu daerah tertentu, contohnya Pulau Jawa, tetapi mencakup semua pulau, semua etnis, dalam teritorial Indonesia. Ini menjadi landasan pentingnya persatuan Indonesia, mencintai dan turut menjaga keutuhan NKRI. 

Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa “le desir d”etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. 

Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!

 Dari sanalah, pemahaman yang substansial terhadap makna kebangsaan, mengantarkan pada sikap nasionalisme yang menghendaki rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib. Dalam pemahaman yang lebih luas, nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat dan bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, wilayah, serta kesamaan cita-cita, dan tujuan. Dengan demikian, masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri

Teks lengkap pidato Soekarno, 1 Juni 1945:https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/speech/?box=detail&id=39&from_box=list_245hlm=1&search_tag=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=1&presiden=sukarno

Sumber BS PPKn X Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI 2021

Minggu, 20 Februari 2022

Kolaborasi Antarbudaya di Indonesia

                                 

Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya. Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua. 

        Mari kita cermati komposisi para peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha­usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70 anggota yang berlatarbelakang suku dan agama yang tidak sama. 

        Tak hanya menghormati, kebudayaan­kebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara maupun kebudayaan antar negara, sebaiknya membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong harmonisasi. Kolaborasi antarbudaya bisa menjadi agenda berikutnya.

       Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu ataupun kelompok. Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga, serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersama­sama. 

      Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaboratif maka identitas­identitas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama­sama disepakati sebagai identitas nasional

Aktivitas Belajar 

 a. Lakukan diskusi dengan pertanyaan pemantik “Kapan keragaman itu menjadi kekuatan dan kelemahan?”

 b. Sebagai bahan bacaan, kalian bisa menelaah tulisan di bawah ini yang berjudul 1) “Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia” https:// www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan yang-dipicu-masalah-keberagaman-di-indonesia?page=all 

  "Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas di Indonesia", https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadapminoritas-di-indonesia-fXpD

 c. Kalian kemudian mendiskusikan bacaan tersebut lalu menganalisis keragaman dalam bentuk tabel. Bilamana keragaman menjadi kekuatan dan kelemahan.

 d. Diskusikan juga beberapa pertanyaan berikut: 

 1) Bagaimana pendapatmu tentang banyaknya kasus kekerasan yang terjadi kepada kelompok minoritas? 

2) Mengapa sampai terjadi banyak sekali kekerasan terhadap kelompok minoritas?

 3) Apakah kekerasan yang terjadi patut untuk dilakukan?

 4) Bagaimana cara mengubah situasi dan kondisi tersebut menjadi lebih baik

                   “Kasus Kekerasan yang Dipicu Masalah Keberagaman di Indonesia” 

 Kompas.com/Rahman Patty (2014) KOMPAS.com - Indonesia merupakan negara yang beragama. Indonesia memiliki suku bangsa, adat istiadat, budaya dan ras yang berbeda-beda tersebar di wilayah Indonesia.

       Namun keberagaman tersebut terus dilakukan diuji dengan munculnya berbagai konlik yang terjadi diberbagai daerah. Konlik-konlik menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan harus mengungsi.

      Diberitakan Kompas.com (23/12/2012), Yayasan Denny JA mencatat selama 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia.

     Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Sementara sisanya kekerasan etnik sekitar 20 persen, kekerasan gender sebanyak 15 persen, kekerasan seksual ada 5 persen. Dari banyak kasus yang terjadi tercatat ada beberapa konlik besar yang banyak memakan jatuh korban baik luka atau meninggal, luas konlik, dan kerugian material. 

    Berikut sejumlah beberapa konlik di Indonesia tersebut.

Konlik Ambon 

 Menurut Yayasan Denny JA, konlik Ambon, Maluku merupakan konlik terburuk yang terjadi di Indonesia setelah reformasi. Di mana telah menghilangkan nyawa sekitar 10.000 orang. Diberitakan Kompas.com (19/1/2020), konlik Ambon berlangsung pada 1999 hingga 2003. Dalam konlik tersebut tercatat ribuan warga meninggal, ribuan rumah dan fasilitas umum termasuk tempat ibadah terbakar. Bahkan ratusan ribu warga harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi dan meninggalkan Maluku atas konlik tersebut. Konik Ambon berlangsung selama empat tahun.

 Konlik Sampit 

 Konlik Sampit, Kalimantan Tengah terjadi pada 2001. Konlik antaretnis tersebut berawal dari bentrokan antara warga Suku Dayak dan Suku Madura pada 18 Februari 2001. Diberitakan Kompas.com (13/6/2018), konlik tersebut meluas ke seluruh Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk di ibu kota Palangkaraya. Diduga, konlik tersebut terjadi karena persaingan di bidang ekonomi. Pada konlik tersebut Komnas HAM membentu Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Sampit. Menurut, Yayasan Denny JA, tercatat ada sekitar 469 orang meninggal dalam konlik tersebut. Sebanyak 108.000 orang harus mengungsi. 

 Kerusuhan Mei 1998 

 Kerusuhan yang berlangsung di Jakarta tersebut setidaknya banyak korban yang meninggal, pemerkosaan dan 70.000 orang harus mengungsi. Kerusuhan tersebut terjadi pada 13-15 Mei 1998. Dikutip Kompas.com (13/5/2019), kerusuhan tersebut dilatarbelakangi terpilihnya kembali Soeharto sebagi presiden pada 11 Maret 1998. Mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan dan terjadi kericuhan dengan aparat. Dampaknya ada mahasiswa yang terluka dan meninggal. Tragedi berdarah juga menimpa mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Mahasiswa yang melakukan aksi harus berhadapan dengan aparat keamanan. Mediasi dilakukan dengan konsekuensi mahasiswa diminta kembali ke kampus Trisakti. Namun, upaya ini tak sesuai rencana. Terdengar letusan senjata api yang membuat empat mahasiswa meninggal. Yakni Elang Mulia Lesmana, Haidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara mahasiswa yang lain mengalami luka-luka. Kondisi itu membuat aksi mahasiswa semakin luas dan berlangsung beberapa hari. Bahkan massa menduduki Gedung MPR/DPR.

Tragedi Trisaksi pada 12 Maret 1998 ini merupakan pemicu aksi yang lebih besar. Setelah korban mendapatkan perawatan, pihak Universitas Trisaksi menuntut aparat keamanan terkait peristiwa ini. Mereka menuntut aparat bertanggung jawab. Selain jatuh korban meninggal dan luka. Peristiwa tersebut juga menimbulkan kerugian mencapai Rp 2,5 triliun. Bulan Mei pun dikenang masyarakat Indonesia sebagai bulan duka atas munculnya korban jiwa akibat aksi kerusuhan. Besarnya kerusuhan itu menyebabkan situasi pemerintahan tidak stabil. Soeharto pun semakin sulit memegang kendali pemerintahannya. Pada 21 Mei 1998, Soeharto mundur sebagai presiden. 

 Konlik Ahmadiyah 

 Konlik Ahmadiyah berlangsung pada 2016-2017. Meski tidak menimbulkan korban jiwa yang besar, konlik tersebut mendapat sorotan media cukup kuat. Pasca konlik terjadi selama 8 tahun para pengungsi tidak jelas nasibnya. Mereka sulit memperoleh fasilitas pemerintah, seperti KTP. 

 Konlik Lampung 

 Konlik di Lampung Selatan telah menimbulkan korban meninggal 14 orang dan ribuan orang mengungsi. Konlik Lampung terjadi pada 2012 

 Konlik Poso

 Konlik Poso, Sulawesi Tengah terjadi antara kelompok Muslim dengan Kelompok Kristen. Konlik tersebut terjadi pada akhir 1998 hingga 2001. Sejumlah rekonsiliasi dilakukan untuk meredakan konlik tersebut. Kemudian munculnya ditandatangani Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001. Belum diketahui secara pasti korban akibat konlik Poso. Sumber:https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/190000569/kasus-kekerasan-yang-dipicu-masalah-keberagaman-di-indonesia?page=al

                  Menilik Situasi Kasus Diskriminasi Terhadap Minoritas di Indonesia 

Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia tidak juga kunjung berakhir. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus ini juga jarang terselesaikan dengan baik. Terakhir, kasus kekerasan ini terjadi di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (8/8/2020). 

 Tindak kekerasan dan penyerangan di Solo tersebut dilakukan oleh sekelompok orang pada upacara Midodareni yang diselenggarakan di kediaman almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota Surakarta, pada Sabtu, (8/8/2020). 

 Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal. Sedikit catatan, Midodareni merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan hari pernikahan.

 Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengecam tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, insiden tersebut menambah catatan buruk kasus intoleransi di Indonesia. Padahal, Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi tindak intoleransi di Indonesia.

 Kejadian tersebut memperpanjang datar tindak diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas khususnya dalam kerukunan beragama. Pada 2018 lalu, Komnas HAM bersama Litbang Kompas meluncurkan survei berjudul "Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi". 

 Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap isu diskriminasi ras dan etnis masih perlu ditingkatkan. Misalnya, sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. 

 Kemudian, sebanyak 82,7 persen responden mengatakan mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Sebanyak 83,1 persen responden juga mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama. 

 Komnas HAM mencatat 101 aduan terkait diskriminasi ras dan etnik sepanjang 2011-2018 dengan aduan tertinggi pada 2016. Jumlah pengaduan terbanyak berasal dari DKI Jakarta dengan 34 aduan.

 Fluktuatif 

 Kementerian Agama setiap tahun merilis indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB). Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, KUB merupakan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

 Indeks tersebut digambarkan dengan angka 0-100. Komponen penilaian yang disorot dalam penilaian ini yaitu kesetaraan, toleransi, dan kerja sama antarumat beragama. Skor indeks KUB nasional mengalami luktuasi setiap tahunnya, mulai dari 75,35 pada 2015 hingga menjadi 73,83 pada 2019. Angka rerata nasional sempat turun pada 2017-2018 hingga menjadi 70,90 pada 2018. 

 Saat mengumumkan angka indeks KUB 2018, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud menyebut banyak peristiwa yang terjadi pada periode 2017-2018 yang menguji kerukunan berbangsa dan bernegara.

 "Kental terasa di benak kita, isu-isu keagamaan bersinggungan dengan isu-isu politik. Atau, ada juga yang menganggap bahwa ras dan agama telah dibawa menjadi isu politik atau politisasi agama menjelang perhelatan Pileg dan Pilpres serentak pada 17 April 2019” ujar Mas’ud, Senin (25/3/2019).

 Mas’ud mencontohkan peristiwa keagamaan yang bersinggungan dengan politik pada periode 2016-2017 yaitu kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), situasi menjelang Pilkada DKI 2017, serta residu politik pada 2018-2019 menjelang Pemilu serentak. 

 Pada 2019, Kementerian Agama mencatat 18 provinsi mendapatkan skor di bawah rerata nasional 73,83. Tiga provinsi dengan skor terendah yaitu: Jawa Barat 68,5; Sumatera Barat 64,4; dan Aceh 60,2.

 Selain terhadap perbedaan agama, tingkat toleransi atau penerimaan terhadap isu lain dapat dilihat dari Social Progress Index yang dirilis oleh Social Progress Imperative. Indeks tersebut dirancang untuk melihat kualitas kemajuan sosial suatu negara melalui tiga variabel penilaian yaitu basic human needs, foundations of wellbeing, dan opportunity dengan skor 0-100. 

 Variabel opportunity dapat menjadi sorotan ketika melihat tingkat toleransi di Indonesia. Dalam variabel tersebut, terdapat komponen penilaian inclusiveness. Komponen inclusiveness merupakan penilaian tingkat penerimaan masyarakat terhadap seluruh golongan untuk dapat menjadi anggota masyarakat yang berkontribusi tanpa ada pengecualian. 

 Jika dirinci, komponen inclusiveness terdiri dari beberapa sub komponen penilaian yaitu penerimaan terhadap gay dan lesbian, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan gender, kesetaraan kekuatan politik berdasarkan posisi sosial ekonomi, dan kesetaraan kekuatan politik berdasarkan kelompok sosial. Pada periode 2015-2019, skor inclusiveness Indonesia pada awalnya menunjukan tren peningkatan pada tiga tahun pertama, kemudian turun dua tahun terakhir

Pada 2015, skor inclusiveness Indonesia sebesar 38,68 kemudian naik menjadi 40,81 pada 2016 dan 42,03 pada 2017. Skor kemudian turun menjadi 40,77 pada 2018, dan kembali turun pada 2019 menjadi 39,96. Skor pada 2019 tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 149 negara. 

 Periode 2018-2019 memang merupakan periode yang banyak diisi oleh agenda politik, utamanya menjelang Pemilu 2019. Tidak jarang, sejumlah agenda politik tersebut bersinggungan dengan pemanfaatan isu identitas termasuk ras, agama, dan kelompok minoritas untuk kepentingan politik.

 Dalam lima tahun terakhir, tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas memang seolah mendapatkan traksi pada pagelaran politik. Salah satu contoh yang paling kentara boleh jadi tampak pada kasus penistaan agama yang melibatkan calon gubernur DKI Jakarta Basuk Tjahaja Purnama atau Ahok di 2016.

 Lebih lanjut, fenomena peningkatan tindak intoleransi dan diskriminasi ini memiliki dampak tidak langsung terhadap situasi demokratisasi di Indonesia. Laporan indeks demokrasi oleh he Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan, situasi demokratisasi Indonesia sedikit 'terganggu' dalam lima tahun terakhir. Catatan singkat, EIU menyusun indeks tersebut melalui lima variabel penilaian dengan rentang skor 0-10 terhadap 165 negara. 

 Berdasarkan laporan EIU, indeks demokrasi Indonesia tercatat mengalami tren menurun sejak 2016, meskipun mengalami kenaikan pada 2019. Indeks demokrasi Indonesia turun menjadi 6,97 dari tahun sebelumnya 7,03. Skor tersebut kembali turun menjadi 6,39 pada 2017 dan stagnan pada tahun berikutnya. Kenaikan skor terjadi pada 2019 menjadi 6,48.

 Meskipun Pemilu serentak 2019 telah usai, kasus terkait intoleransi dan diskriminasi yang bersinggungan dengan identitas belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Terlebih, hingga tulisan ini dimuat, Pemilihan Kepala Daerah (Pikada) serentak di beberapa daerah masih direncanakan akan tetap diselenggarakan di 2020 di tengah situasi pandemi. A Flourish chart. 

Sumber: https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXp

Uji Pemahaman

 Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman kalian tentang unit ini, jawablah pertanyaan berikut: 

a. Apa kesepakatan tentang dasar negara yang dihasilkan dari anggota BPUPK yang memiliki keragaman latar belakang agama dan budaya? 

 b. Berikan analisismu atas konflik bernuansa suku dan agama yang pernah terjadi di Indonesia? 

c. Apa manfaat yang dapat diambil dari kunjungan ke kelompok minoritas?

 d. Setelah kalian berkunjung ke kelompok minoritas, bagaimana persepsi kalian terhadap mereka? 

sumber : BGS PPKn SMA/SMK Kelas X Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia 2021 

Jumat, 04 Februari 2022

Mengenali, Menyadari, dan Menghargai Keragaman Identitas

 

                                 Mengenali,  Menyadari, dan Menghargai Keragaman Identitas

Sebagai makhluk sosial, ciri yang melekat pada manusia adalah keinginan untuk melakukan interaksi satu dengan lainnya. Interaksi berarti hubungan timbal balik yang dilakukan baik antar individu, antar kelompok maupun individu dengan kelompok. Dalam interaksi, ada proses mempengaruhi tindakan kelompok atau individu melalui sikap, aktivitas atau simbol tertentu. Orang akan mengenali yang lain melalui proses interaksi tersebut.

Proses untuk mengenali yang lain, yang juga dilakukan oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial bisa dijumpai melalui cara lain, yakni sosialisasi. Sosialisasi berarti penanaman atau penyebaran (diseminasi) adat, nilai, cara pandang atau pemahaman yang dilakukan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya dalam sebuah masyarakat.

 Melalui sosialisasi, seseorang atau sebuah kelompok menunjukkan nilai­nilai yang dianutnya. Tujuannya, bisa sebatas hanya mengenalkan atau bermaksud mempengaruhi yang lain. Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari banyak individu, potensi munculnya perbedaan persepsi sangatlah besar. Masing­masing orang memiliki nilai serta pandangan yang menjadi identitasnya. Terhadap pandangan yang tidak sama itu, kemampuan untuk bernegosiasi sangatlah penting. Satu anggota kelompok dengan anggota lainnya, mencari titik temu agar ada satu identitas yang disepakati sebagai jati diri kelompok.

 Begitu juga yang dilakukan oleh mereka yang ingin membentuk grup atau kelompok yang lebih besar. Kelompok­kelompok kecil itu berunding untuk menciptakan satu identitas yang bisa mewakili semuanya. Identitas atau jati diri yang menjadi ciri dari kelompok besar itu, bisa saja berasal dari nilai sebuah kelompok kecil yang kemudian disepakati oleh semua kelompok. Atau, ia bisa didapati dengan cara lain. Identitas itu betul­betul sesuatu yang baru, yang tidak ada pada anggota kelompoknya.

Terciptanya identitas kelompok, dengan demikian, mendapatkan pengaruh dari mereka yang menjadi anggotanya. Identitas sebuah grup merupakan hasil dari rumusan dan kesepakatan yang diharapkan bisa menjadi media bagi kelompok lain ketika hendak mengenalinya.

Di sini kita bisa menarik dua hal penting, yakni jati diri dan keragaman atau kebinekaan. Mengapa kebinekaan menjadi tema penting dalam kaitannya dengan masalah identitas atau jati diri?

 Kita perhatikan bagaimana sebuah kelompok terbangun. Jika, katakanlah, ada 10 individu dalam satu kelompok, itu berarti ada 10 cara pandang atau pendapat tentang apa dan bagaimana menciptakan jati diri kelompok tersebut. Begitu pula ketika 100 kelompok hendak menciptakan jati diri untuk satu kelompok besar. Kita akan mendapati 100 jati diri yang sedang berbincang tentang bagaimana menciptakan identitas bersama mereka.

Sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya adalah representasi dari kebinekaan atau kemajemukan. Di dunia ini, ada beragam identitas, Baik identitas individu maupun kelompok. Identitas yang tercipta secara alamiah atau dibentuk secara sosial. Keragaman merupakan hukum alam yang harus disadari dan diterima oleh siapapun. Bangsa Indonesia sedari awal telah menyadari akan hal ini. Kita hidup dalam keragaman, namun ingin tetap berada dalam payung yang bisa mengayomi kebinekaan itu. Inilah hakikat dari semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tersebut.

Sebagaimana para pendiri bangsa yang menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya, agama, etnis, suku dan bahasa, begitupun juga yang harus dilakukan oleh generasi penerus. Kesadaran tentang kebinekaan, harus dilanjutkan oleh kehendak untuk mengenali yang lain. Berkenalan dengan identitas lain di luar dirinya merupakan cara terbaik ketika kita hidup dengan mereka yang berbeda.

Coba diingat, ketika awal berpindah sekolah dari SMP ke SMU. Sebagian besar teman­teman adalah orang­orang baru. Guru­guru yang mengajar pun demikian. Lingkungan sekolah juga berbeda dengan situasi sebelumnya. Jika kita tak berso siali sasi dengan cara mengenal satu dengan yang lain, kita seperti hidup seorang diri, meski faktanya ada banyak orang di sekeliling. Karenanya, kita harus berjumpa, berkenalan, dan berinteraksi agar kebinekaan atau keragaman itu tak hanya sekadar ada dan diakui tapi juga saling dikenali.

Menghargai keragaman adalah salah satu bentuk ketaatan kita pada hukum alam. Tuhan telah menciptakan manusia dengan segala keragaman identitas yang melekat padanya. Menyadari dan menghormati keragaman, tak hanya sebagai cara mengenali sesama, tetapi juga memuliakan ciptaan­Nya.

 Berapa jumlah suku bangsa, bahasa dan suku di Indonesia? Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hingga tahun 2010, ada 1300­an lebih suku bangsa di Indonesia. Sementara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud) telah memetakan dan memveriikasi 718 bahasa daerah di Indonesia. Agama­agama yang di anut oleh penduduk Indonesia, jumlahnya juga banyak. Selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, kita juga mengenal agama­agama lokal seperti Parmalim, Sunda Wiwitan, Kaharingan, Marapu, dan lain sebagainya.

Mereka mempraktikkan adat serta tradisi yang berbeda satu dengan lainnya. Bahasa yang dituturkan juga tidak sama. Keyakinan serta ajaran­ajaran yang dianut pemeluknya hadir dalam doktrin serta ritual yang berlainan. Perbedaan­perbedaan ini adalah bagian dari kekayaan bangsa Indonesia yang harus dihormati dan perlu dijaga. Salah satu ciri bangsa Indonesia adalah keragaman yang dimilikinya. Tidak hanya sebagai ciri, kebudayaan yang beragam itu adalah sekaligus jati diri bangsa Indonesia.

 Indonesia adalah negara yang memiliki dua identitas sekaligus. Identitas pertama bersifat primordial atau jati diri yang berkaitan dengan etnis, suku, agama, dan bahasa. Identitas kedua bersifat nasional. Jika dalam identitas primordial kita melihat banyak sekali jati diri, tidak demikian halnya dengan identitas nasional. Dalam jati diri kita yang bersifat nasional, itu kita bersama­sama memiliki satu warna, satu identitas. Dengan begitu, keunikan Indonesia terletak pada keragaman sekaligus kesatuannya. Keragaman pada identitas kita yang bersifat primordial, sementara kesatuan dan persatuan terletak pada jati diri kita yang bersifat nasional.

Tugas besar yang membentang di hadapan kita sebagai sebuah bangsa yang besar adalah mengelola keragaman sebagai sebuah kekuatan yang saling mendukung satu dengan lainnya. Tidak ada cara lain bagi segenap elemen bangsa kecuali terus mengingat dan menyadari eksistensi kita sebagai bangsa yang dicirikan oleh kebinekaan pada identitas kita yang bersifat primordial. Tak hanya menyadari, tetapi proses selanjutnya harus terus diupayakan, yakni mengenali keragaman­keragaman tersebut. Dalam setiap upaya pengenalan, ada tujuan mulia yang tersimpan di dalamnya, yakni menghargai setiap budaya, religi, suku, serta Bahasa sebagai identitas khas dan unik yang melekat pada diri manusia.

                                          Menghargai Keragaman Identitas

 Kita mengenal nenek moyang nusantara sebagai pelaut yang ulung. Tinggal di negara kepulauan, para pelaut nusantara melakukan ekspedisi yang sangat luar biasa panjang. Mereka tak hanya berlayar antar pulau di wilayah nusantara saja, tetapi melakukan perjalanan yang sangat jauh hingga wilayah Afrika. Perjalanan laut sudah dilakukan sekitar abad ke­5 dan ke­7 M. Perjalanan yang dilakukan, memungkinkan mereka berinteraksi dengan kebudayaan yang berbeda di tempat di mana para pelaut itu singgah. Di situlah terjadi kontak. Nenek moyang kita berkenalan dengan lingkungan barunya. Tak hanya berkenalan, beberapa di antaranya menetap dan meneruskan generasinya di sana.

Pada apa yang dilakukan oleh nenek moyang pelaut kita itu, tercipta sebuah bangunan identitas khas pada masyarakat Afrika. Di sana dikenal tentang asalusul ”Zanj” yang namanya merupakan asal­usul nama bangsa Azania, Zanzibar, dan Tanzania. Zanj adalah ras Afro­Indonesia yang menetap di Afrika Timur, jauh sebelum kedatangan pengaruh Arab atas Swahili.

Dari peristiwa yang terjadi di masa silam seperti di atas, kita bisa belajar, setidaknya dua hal. Pertama, pada setiap perjalanan, seseorang akan bersua dengan perbedaan­perbedaan. Ketidaksamaan itu mewujud dalam tampilan isik atau bahasa yang dituturkan. Pada bahasa yang sama sekalipun, ada dialek yang berlainan. Sehingga tetap ada keragaman dalam sebuah identitas yang pada awalnya kita yakini ada. Dalam hal keyakinan atau ajaran agama, sudah pasti ada ketidaksamaan. Kita bisa mengibaratkan ini dengan seorang yang sedang bertamu ke rumah kerabat, tetangga atau orang yang baru ditemui dalam kehidupannya. Perjumpaan antara kebudayaan yang berbeda, dalam kasus di atas, kemudian dibungkus dalam sebuah etika tentang bagaimana sebaiknya hidup bersama dalam identitas yang beragam tersebut.

Pelajaran kedua dari kisah tentang perjalanan laut nenek moyang nusantara adalah pembentukan identitas baru yang tercipta dari persilangan berbagai identitas. Pada setiap identitas yang melekat, ada keragaman di sana. Pembentukan itu terjadi melalui proses perjumpaan budaya yang melintasi batas­batas geograis yang sangat mungkin tercipta, karena dunia yang kita huni, sesungguhnya saling terhubung.

Jika kita menghargai kebudayaan yang berbeda, apakah itu artinya kita tidak menghormati kebudayaan yang kita miliki?

Dalam dunia yang sudah terhubung, seperti saat ini, cara untuk mengetahui bahwa ada banyak kebudayaan di belahan bumi menjadi lebih mudah. Perangkat teknologi memungkinkan kita mengakses informasi di tempat yang berbeda dengan sangat cepat. Pengetahuan kita akan tradisi serta budaya masyarakat di wilayah lain juga menjadi lebih mudah didapat.

 Kebanggaan atas jati diri yang kita miliki, tidak lantas membuat kita harus menganggap rendah identitas bangsa lain. Masing­masing kebudayaan memiliki kekhasan atau keunikannya masing­masing. Kita tentu berhak untuk merasa bangga atas apa yang dimiliki. Rasa hormat atas identitas sebagai sebuah bangsa yang memiliki peradaban adiluhung, misalnya, adalah sikap yang wajar dimiliki. Namun, bersamaan dengan sikap bangga terhadap kebudayaan yang kita miliki, harus juga ditunjukkan penghormatan atas budaya bangsa lain.

Sumber BG PPKn SMA/SMK Kelas X Kementerian Pedidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi  Republik Indonesia 2021

 

 

 

Jenis dan Pembentukan Identitas

 Jenis dan Pembentukan Identitas 

“Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia”.

 Kita tentu sering mendengar atau membaca kalimat tersebut. Di sana, kita menemukan dua kata yang menjadi frase, yakni jati dan diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati diri diartikan sebagai keadaan atau ciri khusus seseorang. Padanan kata jati diri adalah identitas. Jadi, identitas dan jati diri akan digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang sama.

    Jati diri atau identitas tidak hanya melekat pada individu, tetapi juga kelompok: kelompok kecil seperti keluarga atau kelompok besar seperti halnya bangsa dan negara. Setiap diri kita diberikan keunikan masing-­masing. Kekhususan yang ada pada diri kita, membentuk apa yang disebut identitas tadi. Keunikan yang juga ada pada sebuah kelompok, membedakannya dengan kelompok yang lain.        Setidaknya, ada dua pendapat besar tentang bagaimana identitas itu terbentuk. Pertama, ada yang beranggapan bahwa identitas itu gifted atau terberi. Identitas, dalam pandangan kelompok ini, merupakan sesuatu yang menempel secara alamiah pada seseorang atau sebuah grup. Seseorang yang dilahirkan memiliki ciri isik tertentu, seperti berkulit putih, bermata biru, berambut keriting adalah contoh tentang bagaimana kita memahami identitas dalam diri sebagai sesuatu yang alamiah.

   Kedua, identitas yang dipahami sebagai hasil dari sebuah desain atau rekayasa. Konstruksi identitas seperti ini bisa dilakukan dalam persinggungannya dengan aspek budaya, sosial, ekonomi, dan lainnya. Berbeda halnya dengan identitas yang secara alamiah melekat pada diri manusia, identitas atau jati diri dalam pengertian ini, terlahir sebagai hasil interaksi sosial antarindividu atau antarkelompok. Jati diri sebuah bangsa adalah contoh bagaimana identitas itu dirumuskan, bukan diberikan secara natural

Identitas individu adakalanya bersifat alamiah, tapi juga bisa melekat karena hasil interaksi dengan individu dan kelompok lain. Begitu juga identitas kelompok. Ada identitas yang berasal dari sebuah interaksi dengan kelompok di luar dirinya, serta jati diri yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok tersebut. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak uraian mengenai empat tipe jati diri tersebut.

                                    Identitas Individu yang Alami

Saat ada bayi yang baru saja lahir, pertama­tama, yang kita kenali tentu saja ciri­ciri isiknya. Warna kulit, jenis rambut, golongan darah, mata, hidung, dan sebagainya adalah sebagian dari ciri yang melekat pada bayi tersebut.

Ciri isik seperti ini bisa kita sebut sebagai karakter atau identitas yang bersifat genetis. Ia melekat pada diri manusia dan dibawa serta sejak lahir. Ciri isik manusia, sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Sekalipun lahir dari rahim yang sama, akan tumbuh dengan ciri isik yang berbeda, termasuk mereka yang terlahir kembar. Ada identitas isik, yang secara alamiah, membedakan dirinya dengan saudara kembarnya itu.

Di luar karakter isik, identitas individu juga bisa berasal dari aspek yang bersifat psikis, misalnya sabar, ramah, periang, dan seterusnya. Kita mengenali seseorang karena sifatnya yang penyabar atau peramah. Sebetulnya, sifat ini juga bisa menjadi ciri dari kelompok tertentu.

                       Identitas Individu yang Terbentuk secara Sosial

Selain karakter yang terbentuk secara alamiah, kita bisa mengenali jati diri seseorang atau individu karena hasil pergumulannya dengan mereka yang ada di luar dirinya. Dari interaksi itu, lahirlah identitas individu yang terbentuk sebagai buah dari hubungan­hubungan keseharian dengan identitas di luar dirinya. Identitas diri itu terbentuk bisa karena pekerjaan, peran dalam masyarakat, jabatan di pemerintahan, dan sebagainya.

Dalam hal pekerjaan, misalnya, guru dan peserta didik adalah contohnya. Seseorang menjadi guru karena ia menjalankan tugasnya untuk mengajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada murid­muridnya. Ia sendiri tidak terlahir otomatis sebagai guru, tetapi identitasnya itu didapatkan karena ada pekerjaan yang dijalankannya.

Peserta didik adalah murid­murid yang diajar, menerima pengetahuan serta belajar bersama dengan guru. Identitas sebagai peserta didik tidak melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang alamiah atau genetik. Peserta didik adalah jati diri yang tercipta karena seseorang datang ke sekolah dan mendatarkan diri untuk menjadi murid di sekolah tertentu

         Identitas Kelompok yang Alami

 Selain melekat pada individu, ada juga identitas yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok. Jadi, dalam suatu kelompok, ada individu­individu yang menjadi anggotanya dan memiliki ciri yang sama. Istilah ras atau tribe dalam bahasa Inggris, itulah salah satu contoh bagaimana yang alamiah melekat kepada sebuah kelompok.

Ras digunakan untuk mengelompokkan manusia atas dasar lokasi geograis, warna kulit serta bawaan isiologisnya, seperti warna kulit, rambut dan tulang. Ada banyak yang berpendapat tentang penggolongan ras ini. Salah satunya adalah penggolongan ras dalam lima kelompok besar: "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Ethiopia" (yang kemudian dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu." (Blumenbach dalam Schaefer, 2008).

   Identitas Kelompok yang Terbentuk secara Sosial

 Selain terbentuk secara alamiah, jati diri sebuah kelompok juga bisa terbangun karena bentukan atau dibentuk. Seperti halnya identitas individu yang terbentuk karena interaksi mereka secara sosial, begitu pula halnya identitas kelompok. Mereka yang suka sepakbola, pasti mengenal banyak nama klub atau kesebelasan, baik di dalam maupun luar negeri. Contoh lain adalah organisasi peserta didik di sekolah. Identitas sebagai organisasi peserta didik merupakan jati diri yang terbentuk atau dibentuk. Lebih tepatnya, difasilitasi oleh pihak sekolah.

Bangsa dan negara adalah sebuah kelompok sosial. Setiap bangsa memiliki identitasnya masing­masing. Begitu pun juga negara. Dasar, simbol, bahasa, lagu kebangsaan, serta warna bendera menjadi salah satu penanda sebuah negara. Sebagai kelompok, negara juga terbentuk secara sosial. Negara Indonesia dibentuk atas dasar perjuangan rakyatnya, baik yang dilakukan melalui berbagai medan pertempuran maupun upaya diplomasi di meja perundingan.

Setelah kalian membaca materi tersebut diatas, kegiatan pembelajaran selanjutnya menonton film pendek  terbitan  Arsip Nasional  Republik Indonesia "Kembali Kepada Karakter dan Jati diri Bangsa " yang bisa dilihat di https://www.youtube.com/ watch?v=VvFPpArDSLQ

Sebelum film dimulai , dibawah ini ada beberapa pertanyaan  sebagai panduan kalian  dalam menonton film tersebut 

1. Bagaimana keragaman dikelola  agar bisa mencapai tujuan yang dicita -citakan ?

2. Apa saja peristiwa yang menjadi tonggak  keberhasilan dalam upaya menyatukan perbedaan -perbedaan suku, ras, agama, dan golongan  dalam sejarah Indonesia?

3. Bagaimana jati diri  bangsa Indonesia  dalam bidang pendidikan ?

4. Bagaimana relevansi  film tersebut  dengan Pancasila sebagai Identitas bangsa Indonesia ? 


 Pancasila, Identitas Bangsa Indonesia 

Meski Ir. Soekarno yang menyampaikan pidato Pancasila pada 1 Juni 1945, tetapi lima dasar tersebut bukanlah identitas presiden pertama saja. Kelimanya merupakan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, tidak ada Indonesia. Begitupun sebaliknya. Identitas Indonesia adalah Pancasila. Keduanya seperti dua sisi mata uang. 

Darimana identitas Pancasila itu berasal? 

Seperti berulangkali disampaikan Ir. Soekarno, dirinya bukanlah penemu Pancasila. Ia hanya menggali Pancasila dari bumi nusantara. Sebagai bangsa yang berciri Pancasila, maka sikap, pikiran, dan tindakan manusia Indonesia haruslah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jangan sampai Pancasila selesai sebagai sebuah jargon, tetapi tidak terimplementasi dalam sikap dan perbuatan.

 “Di Pulau Buangan jang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berdjam-djam lamanja merenung dibawah pohon kaju. Ketika itu datanglah ilham jang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup jang  sekarang dikenal dengan Pantjasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku mentjiptakan Pantjasila. Apa jang kukerdjakan hanjalah menggali tradisi kami djauh sampai ke dasarnja dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara jang indah.” [Cindy Adams, 1966, 300] 

Tentang hal ini, Wakil Presiden kita pertama, Mohammad Hatta telah mengingatkan bagaimana kita memaknai Pancasila. Hal tersebut ia sampaikan melalui pidato pada peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta. Pancasila, Bung Hatta mengatakan, “…tidak boleh dijadikan amal di bibir saja,” karena jika demikian, “…berarti pengkhianatan pada diri sendiri.” Bung Hatta menambahkan, “Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan.” (Hatta: 1978, 21).

 "Pancasila tidak boleh dijadikan amal di bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri sendiri. Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan. Sejak 5 Juli 1959 negara kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan dengan rumus Pancasila yang tertera di dalamnya berlaku lagi. Tetapi seperti dikatakan tadi ideologi dan tujuan neara tidak berubah. Perubahan dalam Pembukaan hanya memperkuat kedudukan Pancasila sebagai pedoman dan mempertajam tujuan negara.

" Pancasila adalah identitas yang digali dari kearifan serta kekayaan nilai bumi Indonesia. Agar terus hidup sebagai ciri bangsa, Pancasila tidak sekadar dihafalkan, tetapi juga diamalkan. Pancasila adalah nilai yang hidup sebagai jati diri bangsa. Pada sebuah bangsa yang majemuk, Pancasila adalah jawaban yang tepat sebagai jati diri. 

 Sejarah bangsa Indonesia adalah kisah tentang sebuah negara yang majemuk. Keberagaman tidak bisa kita ingkari sebagai fakta sosiologis sekaligus sebagai kenyataan alami yang memang demikian adanya. Pancasila kemudian membingkainya dan sekaligus memayungi keberagamaan tersebut. Masyarakat yang berbeda latar belakang agama, etnis maupun suku, bisa hidup didalam bingkai tersebuat.  

Dengan kekayaan yang dimiliki,  Pancasila menjadi identitas bersama yang mengakui perbedaan -perbedaan di dalamnya. Meskipun disatu sisi keragaman adalah tantangan, tetapi, jika dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi kekuatan yang saling menopang satu dengan lainnya. Pancasila hadir sebagi identitas yang mengakomodir  dan menghargai perbedaan -perbedaan tersebut .

Sumber Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik indonesia 2021.BPG. SMA/SMK Kelas X

Materi ke IV Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI

Mapel Pendidikan Pancasila Kelas X TP3,TKR, TSM Materi ke IV Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI   Unit  1. Faham Kebangsaan, Nasional...