Filosofi Faham Kebangsaan
Tegak berdirinya Indonesia sesungguhnya dibangun oleh ide-ide besar dari para pendiri bangsa (the founding fathers). Di antara ide itu, tentang paham kebangsaaan, yang dalam rapat atau sidang-sidang sebelum Indonesia merdeka, seperti pada BPUPK 29 Mei-1 Juni 1945, terjadi diskusi atau tukar pikiran mengenai apa yang dimaksud dengan bangsa dan kebangsaan itu?
Perbedaan pendapat di antara tokoh-tokoh bangsa dalam sidang BPUPK tentang makna kebangsaan terlihat dalam pidato Soekarno, 1 Juni 1945. Pendapat Soekarno menjadi titik tolak dalam merumuskan konsep kebangsaan dalam konteks Indonesia.
Dalam sidang BPUPK, perbedaan pandangan mengenai suatu persoalan dapat dilihat dari dua kelompok, antara kubu nasionalis dan islamis. Karena itu, Soekarno memberikan penekanan bahwa apa yang disampaikannya saat sidang, atas dasar sebagai bagian dari bangsa, yang tidak memiliki tendensi untuk menolak atau mendukung salah satu kubu.
Sebagaimana terlihat secara eksplisit dalam petikan pidatonya, Soekarno menggarisbawahi dua hal. Pertama, tentang identitas dirinya yang juga merupakan penganut agama Islam, sehingga pendapat-pendapatnya tidak dimaksudkan untuk menyerang atau menolak pandangan tokoh Islam. Kedua, meletakkan paham kebangsaaan sebagai dasar tegak berdirinya sebuah negara.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan.
Soekarno, jika kita baca isi pidatonya dengan seksama, akan terlihat, di satu sisi ia setuju dengan Ki Bagus Hadikusumo, sedang di sisi lain, ia justru tidak setuju kepada tokoh-tokoh perumus konsep kebangsaan seperti Ernest Renan dan Otto Bauer.
Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Soekarno mengajukan pertanyaan: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa? Upaya menjawab pertanyaan yang diajukannya itu, di sinilah terlihat wawasan kebangsaan Soekarno yang begitu luas. Ia pada awalnya ingat dan mengutip pendapat tokoh terkemuka bernama Ernest Renan dan Otto Bauer.
Menurut Renan syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut deinisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat deinisi orang lain, yaitu deinisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, disitu ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eine aus chiksals-gemeinschat erwachsene Charaktergemeinschat”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Namun demikian, Soekarno tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer. Sebab, kata Soekarno, tatkala Otto Bauer mengadakan devinisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Geopolitik adalah merujuk pada hubungan antara politik dengan teritori dalam skala lokal, nasional, dan internasional; ilmu atau studi mengenai penyelenggaraan negara yang kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geograi wilayah atau daerah pada suatu bangsa.
Soekarno pada akhirnya setuju dengan Ki Bagus Hadikusumo dan Munanan, sekaligus menegaskan, bahwa kebangsaan itu erat hubungannya dengan persatuan antara “orang dan tempat”.
Perhatikan penjelasan Soekarno berikut: Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschat”nya dan perasaan orangnya, “l’ame et desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manu sia itu, Apakah tempat itu?
Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana”kesatuan-kesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan.
Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, lautan Paciic dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.
Persatuan antara orang dan tempat itulah yang melahirkan apa yang lazim disebut “Tanah Air kita” atau “tumpah darah kita”.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah deinisi yang dikatakan oeh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensembles”, tidak cukup deinisi Otto Bauer “aus schiksalsgemeinschat erwachsene Charaktergemeinschat” itu.
Menurut Soekarno, bangsa atau kebangsaan itu tidak berdasarkan satu daerah tertentu, contohnya Pulau Jawa, tetapi mencakup semua pulau, semua etnis, dalam teritorial Indonesia. Ini menjadi landasan pentingnya persatuan Indonesia, mencintai dan turut menjaga keutuhan NKRI.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa “le desir d”etre ensemble”, tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!
Dari sanalah, pemahaman yang substansial terhadap makna kebangsaan, mengantarkan pada sikap nasionalisme yang menghendaki rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib. Dalam pemahaman yang lebih luas, nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat dan bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, wilayah, serta kesamaan cita-cita, dan tujuan. Dengan demikian, masyarakat suatu bangsa tersebut merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri
Teks lengkap pidato Soekarno, 1 Juni 1945:https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/speech/?box=detail&id=39&from_box=list_245hlm=1&search_tag=&search_keyword=&activation_status=&presiden_id=1&presiden=sukarno
Sumber BS PPKn X Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI 2021